Menjemput yang Tertinggal, Mengemaskan yang Tercecer, Mengingatkan yang Terlupa " ELING LAN WASPADA"

widgeo.net

Kamis, 01 Maret 2012

KERAJAAN SALAKANAGARA

Kerajaan Salakanagara, berdasarkan Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta) diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara).
Nama ahli dan sejarawan yang membuktikan bahwa tatar Banten memiliki nilai-nilai sejarah yang tinggi, antara lain adalah Husein Djajadiningrat, Tb. H. Achmad, Hasan Mu’arif Ambary, Halwany Michrob dan lain-lainnya. Banyak sudah temuan-temuan mereka disusun dalam tulisan-tulisan, ulasan-ulasan maupun dalam buku. Belum lagi nama-nama seperti John Miksic, Takashi, Atja, Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar, Claude Guillot, Ayatrohaedi, Wishnu Handoko dan lain-lain yang menambah wawasan mengenai Banten menjadi tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya dibuat baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
Keturunan India
Pendiri Salakanagara, Dewawarman adalah duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu setempat, sedangkan pendiri Tarumanagara adalah Maharesi Jayasingawarman, pengungsi dari wilayah Calankayana, Bharata karena daerahnya dikuasai oleh kerajaan lain. Sementara Kutai didirikan oleh pengungsi dari Magada, Bharata setelah daerahnya juga dikuasai oleh kerajaan lain.
Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang. Adalah Aki Tirem, penghulu atau penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua Dewawarman ketika puteri Sang Aki Luhur Mulya bernama Dewi Pwahaci Larasati diperisteri oleh Dewawarman. Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya.
Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara (Negeri Perak) beribukota di Rajatapura. Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain Kerajaan Agnynusa (Negeri Api)yang berada di Pulau Krakatau.
Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Salakanagara berdiri hanya selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362 Masehi. Raja Dewawarman I sendiri hanya berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Raja Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja Dewawarman VIII atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363 karena sejak itu Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi yang berasal dari Calankayana, India bernama Jayasinghawarman. Pada masa kekuasaan Dewawarman VIII, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.
Sementara Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Calankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.
Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.
Urutan Raja Salakanagara
Daftar nama-nama raja yang memerintah Kerajaan Salakanagara adalah:
Tahun berkuasa Nama raja Julukan Keterangan 130-168 M Dewawarman I Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara Pedagang asal Bharata (India) 168-195 M Dewawarman II Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra Putera tertua Dewawarman I 195-238 M Dewawarman III Prabu Singasagara Bimayasawirya Putera Dewawarman II 238-252 M Dewawarman IV
Menantu Dewawarman II, Raja Ujung Kulon 252-276 M Dewawarman V
Menantu Dewawarman IV 276-289 M Mahisa Suramardini Warmandewi
Puteri tertua Dewawarman IV & isteri Dewawarman V, karena Dewawarman V gugur melawan bajak laut 289-308 M Dewawarman VI Sang Mokteng Samudera Putera tertua Dewawarman V 308-340 M Dewawarman VII Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati Putera tertua Dewawarman VI 340-348 M Sphatikarnawa Warmandewi
Puteri sulung Dewawarman VII 348-362 M Dewawarman VIII Prabu Darmawirya Dewawarman Cucu Dewawarman VI yang menikahi Sphatikarnawa, raja terakhir Salakanagara Mulai 362 M Dewawarman IX,Salakanagara telah menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara.

KERAJAAN JANGGALA

Kerajaan Janggala adalah salah satu dari dua pecahan kerajaan yang dipimpin oleh Airlangga dari Wangsa Isyana. Kerajaan ini berdiri tahun 1042, dan berakhir sekitar tahun 1130-an. Lokasi pusat kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di wilayah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Etimologi
Nama Janggala diperkirakan berasal kata "Hujung Galuh", atau disebut "Jung-ya-lu" berdasarkan catatan China. Hujung Galuh terletak di daerah muara sungai Brantas yang diperkirakan kini menjadi bagian kota Surabaya. Kota ini merupakan pelabuhan penting sejak zaman kerajaan Kahuripan, Janggala, Kediri, Singhasari, hingga Majapahit. Pada masa kerajaan Singhasari dan Majapahit pelabuhan ini kembali disebut sebagai Hujung Galuh.
Pembagian Kerajaan oleh Airlangga
Pusat pemerintahan Janggala terletak di Kahuripan. Menurut prasasti Terep, kota Kahuripan didirikan oleh Airlangga tahun 1032, karena ibu kota yang lama, yaitu Watan Mas direbut seorang musuh wanita.
Berdasarkan prasasti Pamwatan dan Serat Calon Arang, pada tahun 1042 pusat pemerintahan Airlangga sudah pindah ke Daha. Tidak diketahui dengan pasti mengapa Airlangga meninggalkan Kahuripan.
Pada tahun 1042 itu pula, Airlangga turun takhta. Putri mahkotanya yang bernama Sanggramawijaya Tunggadewi lebih dulu memilih kehidupan sebagai pertapa, sehingga timbul perebutan kekuasaan antara kedua putra Airlangga yang lain, yaitu Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan.
Akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Sri Samarawijaya mendapatkan Kerajaan Kadiri di sebelah barat yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan Mapanji Garasakan mendapatkan Kerajaan Janggala di sebelah timur yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Raja-Raja Janggala
Pembagian kerajaan sepeninggal Airlangga terkesan sia-sia, karena antara kedua putranya tetap saja terlibat perang saudara untuk saling menguasai.
Pada awal berdirinya, Kerajaan Janggala lebih banyak meninggalkan bukti sejarah dari pada Kerajaan Kadiri. Beberapa orang raja yang diketahui memerintah Janggala antara lain:
Mapanji Garasakan, berdasarkan prasasti Turun Hyang II (1044), prasasti Kambang Putih, dan prasasti Malenga (1052).
Alanjung Ahyes, berdasarkan prasasti Banjaran (1052).
Samarotsaha, berdasarkan prasasti Sumengka (1059). Akhir Kerajaan Janggala
Meskipun raja Janggala yang sudah diketahui namanya hanya tiga orang saja, namun kerajaan ini mampu bertahan dalam persaingan sampai kurang lebih 90 tahun lamanya. Menurut prasasti Ngantang (1035), Kerajaan Janggala akhirnya ditaklukkan oleh Sri Jayabhaya raja Kadiri, dengan semboyannya yang terkenal, yaitu Panjalu Jayati, atau Kadiri Menang.
Sejak saat itu Janggala menjadi bawahan Kadiri. Menurut Kakawin Smaradahana, raja Kadiri yang bernama Sri Kameswara, yang memerintah sekitar tahun 1182-1194, memiliki permaisuri seorang putri Janggala bernama Kirana.
Janggala sebagai Bawahan Majapahit
Setelah Kadiri ditaklukkan Singhasari tahun 1222, dan selanjutnya oleh Majapahit tahun 1293, secara otomatis Janggala pun ikut dikuasai.
Pada zaman Majapahit nama Kahuripan lebih populer dari pada Janggala, sebagaimana nama Daha lebih populer dari pada Kadiri. Meskipun demikian, pada prasasti Trailokyapuri (1486), Girindrawardhana raja Majapahit saat itu menyebut dirinya sebagai penguasa Wilwatikta-Janggala-Kadiri.
Bhre Kahuripan
Tribhuwana 1309-1328, 1350-1375 Pararaton.27:18,19; 29:32 Nagarakretagama.2:2
Hayam Wuruk 1334-1350 Prasasti Tribhuwana
Wikramawardhana 1375-1389 Suma Oriental(?)
Surawardhani 1389-1400 Pararaton.29:23,26; 30:37
Ratnapangkaja 1400-1446 Pararaton .30:5,6; 31:35
Rajasawardhana 1447-1451 Pararaton.32:11; Prasasti Waringin Pitu
Samarawijaya 1451-1478 Pararaton .32:23
Janggala dalam Karya Sastra
Adanya Kerajaan Janggala juga muncul dalam Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365. Kemudian muncul pula dalam naskah-naskah sastra yang berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, misalnya Babad Tanah Jawi dan Serat Pranitiradya.
Dalam naskah-naskah tersebut, raja pertama Janggala bernama Lembu Amiluhur, putra Resi Gentayu alias Airlangga. Lembu Amiluhur ini juga bergelar Jayanegara. Ia digantikan putranya yang bernama Panji Asmarabangun, yang bergelar Prabu Suryawisesa.
Panji Asmarabangun inilah yang sangat terkenal dalam kisah-kisah Panji. Istrinya bernama Galuh Candrakirana dari Kediri. Dalam pementasan Ketoprak, tokoh Panji setelah menjadi raja Janggala juga sering disebut Sri Kameswara. Hal ini jelas berlawanan dengan berita dalam Smaradahana yang menyebut Sri Kameswara adalah raja Kadiri, dan Kirana adalah putri Janggala.
Selanjutnya, Panji Asmarabangun digantikan putranya yang bernama Kuda Laleyan, bergelar Prabu Surya Amiluhur. Baru dua tahun bertakhta, Kerajaan Janggala tenggelam oleh bencana banjir. Surya Amiluhur terpaksa pindah ke barat mendirikan Kerajaan Pajajaran.
Tokoh Surya Amiluhur inilah yang kemudian menurunkan Jaka Sesuruh, pendiri Majapahit versi dongeng. Itulah sedikit kisah tentang Kerajaan Janggala versi babad dan serat yang kebenarannya sulit dibuktikan dengan fakta sejarah.

DINASTI MANGKUNAGARAN

Praja Mangkunagaran
1757–1946
Wilayah Mangkunegaran 1830 Ibu kota Kabupaten Kota Mangkunagaran Bahasa Jawa Agama mayoritas Islam Pemerintahan Monarki Adipati - 1757-1795 Mangkunagara I - 1944-1946; w. 1987 Mangkunagara VIII Sejarah
- Perjanjian Salatiga 1757 - Pengundangan Penetapan Pemerintah No. 16/SD Tahun 1946 (pembubaran) 1946
Praja atau Kadipaten Mangkunagaran (atau Mangkunegaran) adalah Kadipaten yang pernah berkuasa di wilayah Karesidenan Surakarta dan sekitarnya sejak 1757 sampai dengan 1946. Penguasanya adalah cabang dari wangsa Mataram, disebut wangsa Mangkunegaran, yang dimulai dari Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said).

Pendirian dan wilayah
Satuan politik ini dibentuk berdasarkan Perjanjian Salatiga yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga sebagai solusi atas perlawanan yang dilakukan Raden Mas Said terhadap Sunan Pakubuwana III, penguasa Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang telah terpecah akibat Perjanjian Giyanti, dua tahun sebelumnya.
Berdasarkan Perjanjian Salatiga, Raden Mas Said diberi hak untuk menguasai wilayah timur dan selatan sisa wilayah Mataram sebelah timur. Jumlah wilayah ini secara relatif adalah 49% wilayah Kasunanan Surakarta setelah tahun 1830, yaitu pada saatberakhirnya Perang Diponegoro atau Perang Jawa. Wilayah itu kini mencakup bagian utara Kota Surakarta (Kecamatan Banjarsari, Surakarta), seluruh wilayah Kabupaten Karanganyar, seluruh wilayah Kabupaten Wonogiri, dan sebagian dari wilayah Kecamatan Ngawen dan Semin di Kabupaten Gunung Kidul[rujukan?].
Kekuasaan politik
Secara tradisional penguasanya disebut Mangkunagara (baca: 'Mangkunagoro'). Raden Mas Said merupakan Mangkunagara I. Penguasa Mangkunegaran berkedudukan di Pura Mangkunegaran, yang terletak di Kota Surakarta. Penguasa Mangkunegaran, berdasarkan perjanjian pembentukannya, berhak menyandang gelar Pangeran (secara formal disebut Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara Senopati Ing Ayudha Sudibyaningprang) tetapi tidak berhak menyandang gelar Sunan atau pun Sultan. Mangkunegaran merupakan Kadipaten, sehingga posisinya lebih rendah daripada Kasunanan. Status yang berbeda ini tercermin dalam beberapa tradisi yang masih berlaku hingga sekarang, seperti jumlah penari bedaya yang tujuh, bukan sembilan seperti pada Kasunanan Surakarta. Namun demikian, berbeda dari Kadipaten pada masa-masa sebelumnya, Mangkunegaran memiliki otonomi yang sangat luas karena berhak memiliki tentara sendiri yang independen dari Kasunanan.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Mangkunegara VIII (penguasa pada waktu itu) menyatakan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1946, setelah terjadi Revolusi sosial di Surakarta (1945-1946). Sejak saat itu Mangkunegaran kehilangan kedaulatannya sebagai satuan politik. Walaupun demikian Pura Mangkunegaran dan Mangkunegara masih tetap menjalankan fungsinya sebagai penjaga budaya. Saat ini yang memegang kekuasaan adalah Mangkunagara IX, putra kedua dari Mangkunegara VIII.
Para penguasa Mangkunegaran tidak dimakamkan di Astana Imogiri melainkan di Astana Mangadeg dan Astana Girilayu, yang terletak di lereng Gunung Lawu. Perkecualian adalah lokasi makam dari Mangkunegara VI, yang dimakamkan di tempat tersendiri.
Warna resmi Mangkunagaran adalah hijau dan kuning emas serta dijuluki "pareanom" ('padi muda'), yang dapat dilihat pada lambang, bendera, pataka, serta samir yang dikenakan abdi dalem atau kerabat istana.
Daftar Pangeran Mangkunagara
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar_raja_Jawa#Praja_Mangkunagaran_di_Surakarta
Administrasi pemerintahan
Pada awal pendiriannya, struktur pemerintahan masih sederhana, mengingat lahan yang dikuasai berstatus "tanah lungguh" (apanage) dari Kasunanan Surakarta.[1] Ada dua jabatan Pepatih Dalem, masing-masing bertanggung jawab untuk urusan istana dan pemerintahan wilayah. Selain itu, Mangkunagara (MN) I sebagai Adipati Anom membawahi sejumlah Tumenggung (komandan satuan prajurit)[2].
Di masa pemerintahan MN II, situasi politik berubah. Status kepemilikan tanah beralih dari tanah lungguh menjadi tanah vazal yang bersifat diwariskan turun-temurun[3]. Hal ini memungkinkan otonomi yang lebih tinggi dalam pengelolaan wilayah. Perluasan wilayah juga terjadi sebanyak 1500 karya. Perubahan ini membuat diubahnya struktur jabatan langsung di bawah Adipati Anom dari dua menjadi tiga, dengan sebutan masing-masing adalah Patih Jero (Menteri utama urusan domestik istana), Patih Jaba (Menteri Utama urusan wilayah), dan Kapiten Ajudan (Menteri urusan kemiliteran).
Semenjak pemerintah MN III, struktur pemerintahan menjadi tetap dan relatif lebih kompleks. Raja (Adipati Anom) semakin mandiri dalam hubungan dengan Kasunanan. Wilayah praja dibagi menjadi tiga Kabupaten Anom (Karanganyar, Wanagiri, dan Malangjiwan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang Wedana Gunung[4]. Ketiga Wedana Gunung merupakan bawahan seorang Patih. Patih bertanggung jawab kepada Adipati Anom. Di bawah setiap Kabupaten Anom terdapat sejumlah Panewuh.
Penyatuan administrasi bulan Agustus 1873 membuat pemerintahan otonom Mangkunegaran harus terintegrasi dengan pemerintahan residensial dari pemerintah Hindia-Belanda. Wilayah Mangkunegaran dibagi menjadi empat Kabupaten Anom (Kota Mangkunegaran, Karanganyar, Wonogiri, dan Baturetno) yang masing-masing membawahi desa/kampung

Jumat, 05 Agustus 2011

SEJARAH GUNUNG TOBA (BATAK)

Asal Usul Danau Toba Sesungguhnya
Gunung Toba kini menjadi kompleks Danau Toba yang merupakan kaldera dengan Pulau Samosir di tengahnya.
Gunung Toba adalah gunung api raksasa yaitu gunung aktif dalam kategori sangat besar, diperkirakan meletus terakhir sekitar 74.000 tahun lalu menyisakan sebuah danau yaitu Danau Toba, Sumatera Utara, Indonesia sebagai kaldera terbesar di dunia.
Bukti ilmiah
Pada tahun 1939, geolog Belanda Van Bemmelen melaporkan, Danau Toba, yang panjangnya 100 kilometer dan lebarnya 30 kilometer, dikelilingi oleh batu apung peninggalan dari letusan gunung. Karena itu, Van Bemmelen menyimpulkan, Toba adalah sebuah gunung berapi. Belakangan, beberapa peneliti lain menemukan debu riolit (rhyolite) yang seusia dengan batuan Toba di Malaysia, bahkan juga sejauh 3.000 kilometer ke utara hingga India Tengah.
Beberapa ahli kelautan pun melaporkan telah menemukan jejak-jejak batuan Toba di Samudra Hindia dan Teluk Benggala. Para peneliti awal, Van Bemmelen juga Aldiss dan Ghazali (1984) telah menduga Toba tercipta lewat sebuah letusan mahadahsyat. Namun peneliti lain, Vestappen (1961), Yokoyama dan Hehanusa (1981), serta Nishimura (1984), menduga kaldera itu tercipta lewat beberapa kali letusan. Peneliti lebih baru, Knight dan sejawatnya (1986) serta Chesner dan Rose (1991), memberikan perkiraan lebih detail: kaldera Toba tercipta lewat tiga letusan raksasa.
Penelitian seputar Toba belum berakhir hingga kini. Jadi, masih banyak misteri di balik raksasa yang sedang tidur itu. Salah satu peneliti Toba angkatan terbaru itu adalah Fauzi dari Indonesia, seismolog pada Badan Meteorologi dan Geofisika. Sarjana fisika dari Universitas Indonesia lulusan 1985 ini berhasil meraih gelar doktor dari Renssealer Polytechnic Institute, New York, pada 1998, untuk penelitiannya mengenai Toba.
Berada di tiga lempeng tektonik
Letak Gunung Toba (kini: Danau Toba), di Indonesia memang rawan bencana. Hal ini terkait dengan posisi Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik, yakni Eurasia, Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Sebanyak 80% dari wilayah Indonesia, terletak di lempeng Eurasia, yang meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Banda.
Lempeng benua ini hidup, setiap tahunnya mereka bergeser atau menumbuk lempeng lainnya dengan jarak tertentu. Lempeng Eurasia yang merupakan lempeng benua selalu jadi sasaran. Lempeng Indo-Australia misalnya menumbuk lempeng Eurasia sejauh 7 cm per tahun. Atau Lempeng Pasifik yang bergeser secara relatif terhadap lempeng Eurasia sejauh 11 cm per tahun. Dari pergeseran itu, muncullah rangkaian gunung, termasuk gunung berapi Toba.
Jika ada tumbukan, lempeng lautan yang mengandung lapisan sedimen menyusup di bawahnya lempeng benua. Proses ini lantas dinamakan subduksi atau penyusupan.
Gunung hasil subduksi, salah satunya Gunung Toba. Meski sekarang tak lagi berbentuk gunung, sisa-sisa kedasahyatan letusannya masih tampak hingga saat ini. Danau Toba merupakan kaldera yang terbentuk akibat meletusnya Gunung Toba sekitar tiga kali yang pertama 840 juta tahun lalu dan yang terakhir 74.000 tahun lalu. Bagian yang terlempar akibat letusan itu mencapai luas 100 km x 30 km persegi. Daerah yang tersisa kemudian membentuk kaldera. Di tengahnya kemudian muncul Pulau Samosir.
Letusan
Sebelumnya Gunung Toba pernah meletus tiga kali.
Letusan pertama terjadi sekitar 840 juta tahun lalu. Letusan ini menghasilkan kaldera di selatan Danau Toba, meliputi daerah Prapat dan Porsea.
Letusan kedua yang memiliki kekuatan lebih kecil, terjadi 500 juta tahun lalu. Letusan ini membentuk kaldera di utara Danau Toba. Tepatnya di daerah antara Silalahi dengan Haranggaol. Dari dua letusan ini, letusan ketigalah yang paling dashyat.
Letusan ketiga 74.000 tahun lalu menghasilkan kaldera, dan menjadi Danau Toba sekarang dengan Pulau Samosir di tengahnya.

Gunung Toba ini tergolong Supervolcano. Hal ini dikarenakan Gunung Toba memiliki kantong magma yang besar yang jika meletus kalderanya besar sekali. Volcano kalderanya ratusan meter, sedangkan Supervolacano itu puluhan kilometer.
Yang menarik adalah terjadinya anomali gravitasi di Toba. Menurut hukum gravitasi, antara satu tempat dengan lainnya akan memiliki gaya tarik bumi sama bila mempunyai massa, ketinggian dan kerelatifan yang sama. Jika ada materi yang lain berada di situ dengan massa berbeda, maka gaya tariknya berbeda. Bayangkan gunung meletus. Banyak materi yang keluar, artinya kehilangan massa dan gaya tariknya berkurang. Lalu yang terjadi up-lifting (pengangkatan). Inilah yang menyebabkan munculnya Pulau Samosir.
Magma yang di bawah itu terus mendesak ke atas, pelan-pelan. Dia sudah tidak punya daya untuk meletus. Gerakan ini berusaha untuk menyesuaikan ke normal gravitasi. Ini terjadi dalam kurun waktu ribuan tahun. Hanya Samosir yang terangkat karena daerah itu yang terlemah. Sementara daerah lainnya merupakan dinding kaldera.
Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Danau ini merupakan danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir.
Danau Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata penting di Sumatera Utara selain Bukit Lawang dan Nias, menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Sejarah
Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2.800 km³, dengan 800 km³ batuan ignimbrit dan 2.000 km³ abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama 2 minggu. Debu vulkanik yang ditiup angin telah menyebar ke separuh bumi, dari Cina sampai ke Afrika Selatan. Letusannya terjadi selama 1 minggu dan lontaran debunya mencapai 10 km di atas permukaan laut.
Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan pada beberapa spesies juga diikuti kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60% dari jumlah populasi manusia bumi saat itu, yaitu sekitar 60 juta manusia. Letusan itu juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para ahli masih memperdebatkannya.
Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir.
Tim peneliti multidisiplin internasional, yang dipimpin oleh Dr. Michael Petraglia, mengungkapkan dalam suatu konferensi pers di Oxford, Amerika Serikat bahwa telah ditemukan situs arkeologi baru yang cukup spektakuler oleh para ahli geologi di selatan dan utara India. Di situs itu terungkap bagaimana orang bertahan hidup, sebelum dan sesudah letusan gunung berapi (supervolcano) Toba pada 74.000 tahun yang lalu, dan bukti tentang adanya kehidupan di bawah timbunan abu Gunung Toba. Padahal sumber letusan berjarak 3.000 mil, dari sebaran abunya.
Selama tujuh tahun, para ahli dari oxford University tersebut meneliti projek ekosistem di India, untuk mencari bukti adanya kehidupan dan peralatan hidup yang mereka tinggalkan di padang yang gundul. Daerah dengan luas ribuan hektare ini ternyata hanya sabana (padang rumput). Sementara tulang belulang hewan berserakan. Tim menyimpulkan, daerah yang cukup luas ini ternyata ditutupi debu dari letusan gunung berapi purba.
Penyebaran debu gunung berapi itu sangat luas, ditemukan hampir di seluruh dunia. Berasal dari sebuah erupsi supervolcano purba, yaitu Gunung Toba. Dugaan mengarah ke Gunung Toba, karena ditemukan bukti bentuk molekul debu vulkanik yang sama di 2100 titik. Sejak kaldera kawah yang kini jadi danau Toba di Indonesia, hingga 3000 mil, dari sumber letusan. Bahkan yang cukup mengejutkan, ternyata penyebaran debu itu sampai terekam hingga Kutub Utara. Hal ini mengingatkan para ahli, betapa dahsyatnya letusan super gunung berapi Toba kala itu. Bukti-bukti yang ditemukan, memperkuat dugaan, bahwa kekuatan letusan dan gelombang lautnya sempat memusnahkan kehidupan di Atlantis.
SEJARAH DANAU TOBA DGN PULAU SAMOSIR
Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran luas 100km x 30km di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir.
Danau Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata penting di
Sumatera Utara selain Bukit Lawang dan Nias, menarik wisatawan domestik
maupun mancanegara.
Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2800km3, dengan 800km3 batuan ignimbrit dan 2000km3
abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama 2 minggu.
Debu vulkanik yang ditiup angin telah menyebar ke separuh bumi, dari
cina sampai ke afrika selatan. Letusannya terjadi selama 1 minggu dan
lontaran debunya mencapai 10 KM diatas permukaan laut.
Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan pada beberapa spesies juga diikuti kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA,
letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60% dari
jumlah populasi manusia bumi saat itu yaitu sekitar 60 juta manusia.
Letusan itu juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para
ahli masih memperdebatkan soal itu.
Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir .
Danau toba sesungguhnya berasal dari sebuah letusan gunung berapi raksasa (supervolcano) yang terjadi 73 ribu tahun lalu. Letusan Toba ini adalah yang ketiga, dua letusan sebelumnya sudah pernah terjadi dalam jangka waktu 1 juta tahun. Letusan Toba yang menciptakan danau Toba sekarang diperkirakan memiliki indeks Ledakan Vulkanis 8 (Mega Kolosal) sedemikian hingga membentuk kompleks kawah berukuran 3 ribu km persegi. Volume erupsi diperkirakan antara 2 ribu hingga 3 ribu km kubik magma dan 800 km kubiknya terendapkan sebagai abu vulkanis. Ukuran ledakannya adalah dua kali letusan gunung Tambora tahun 1815. Letusan gunung Tambora saat itu saja sudah cukup menghasilkan “Tahun Tanpa Musim Panas” di belahan bumi utara.
Menurut Alan Robock, letusan Toba tidak memicu zaman es. Penelitiannya yang menganalisa emisi 6 miliar ton sulfur dioksida dalam simulasinya menunjukkan pendinginan global maksimum sekitar 15 °C, tiga tahun setelah letusan. Ini berarti garis pepohonan dan salju sekitar 3000 meter lebih rendah dari sekarang. Dalam beberapa dekade, iklim kembali pulih.
Walau ada banyak perbedaan pendapat dan metode, para ilmuan setuju kalau letusan super Toba mengakibatkan lapisan hujan abu yang sangat tebal dan masuknya gas-gas beracun ke atmofer, sehingga mempengaruhi iklim dunia masa itu. Beberapa menduga peristiwa ini memicu zaman es 1000 tahun yang terjadi kemudian.
Menceritakan Asal Usul Danau Toba sesungguhnya pada Anak-anak
Sains sekarang telah cukup maju untuk mengetahui asal usul danau Toba yang sesungguhnya. Dan cerita asal usul ini ternyata jauh lebih mengagumkan, jauh lebih mengesankan dari sekedar dongeng. Kenapa mengajarkan dongeng sementara sains telah memberikan penjelasan yang lebih spektakuler lagi mengenai asal usul Danau Toba? Tampaknya sebagian besar dari kita masih belum tahu tentang asal usul Danau Toba. Dan kalaupun tahu, masih tidak tahu cara mengkomunikasikan fakta ilmiah ini pada anak-anak. Berikut kami tawarkan sebuah cerita anak yang lebih spektakuler, berdasarkan fakta sesungguhnya, mengenai asal usul danau Toba.
Di Zaman Dahulu kala, Ada seorang pemburu yang tinggal di sebuah padang rumput. Ia adalah leluhur kita. Pekerjaannya sehari-hari adalah memburu hewan paginya, kembali ke tempat berkumpul bersama keluarganya di waktu petang.
Matahari baru terbenam kala itu. Sang pemburu asyik bermain dengan istri dan anak-anaknya. Anggota kelompok lain sedang menyalakan api. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara gemuruh dari langit.
Peta Fraktura Sisa Letusan di Danau Toba
Di waktu tengah malam, ada sesuatu yang muncul dari langit. Terjadi hujan yang aneh. Hujan abu. Sang pemburu dan kelompoknya harus segera meninggalkan tempat tersebut dan mencari tempat baru. Abu terus mengguyur. Pemburu dan keluarganya berusaha ke barat, menjauh dari asal abu. Setelah setahun mereka berjalan ke barat, mereka bertemu dengan hutan rimba dan pegunungan sangat tinggi. Daerah ini ganas. Walaupun banyak hewan buruan, tapi lebih sering para pemburu lah yang dimakan oleh hewan. Kepala suku memutuskan agar kelompok pergi ke utara dan menghindari hutan lebat di barat.
Maka berangkatlah para pemburu yang tersisa ke arah utara. Di utara mereka menemukan banyak sumber makanan, walaupun cuaca saat itu sangat dingin. Hewan hewan yang tidak mampu bertahan di cuaca dingin mudah diburu dan karenanya dapat menjamin kelangsungan kelompok.
Pada akhirnya para leluhur sampai di sebuah selat. Di seberang selat ada daratan. Walaupun sama saja dengan di sini, tapi mungkin ada hal baru di sana. Hewan-hewan di sini semakin langka dan iklim semakin kering. Maka para leluhur membuat sampan untuk menyeberangi selat.
Di seberang selat adalah daerah yang ternyata tidak lebih baik dari daerah asal para leluhur. Disini kering, pasir dan abu dimana-mana. Para leluhur harus berjalan terus di tepi pantai agar tidak terjebak di tengah gurun. Mereka terus berjalan dan berjalan.
Pada akhirnya mereka tiba di sebuah dunia yang aneh. Dunia abu-abu, segalanya penuh tertutup abu. Tampaknya lebih baik disini daripada di dunia pasir. Lewat musyawarah, akhirnya leluhur memutuskan untuk masuk ke dunia abu.
Di dunia abu ini, mereka bertemu dengan penduduk asli. Mereka sama dengan leluhur. Ternyata mereka adalah kelompok lain yang telah lebih dulu sampai di sini. Mereka bercengkerama dan berbagi cerita. Mereka juga berbagi trik dan cara bertahan hidup. Setiap anggota kelompok tahu cara membuat api karena disini malam dan siang hampir sama gelapnya. Dan tanpa api mereka dapat tersesat di hutan.
Seiring berjalannya waktu, debu tidak lagi turun. Matahari mulai jelas terlihat. Para leluhur memutuskan untuk tidak tinggal di dunia abu-abu yang sekarang mulai hijau. Mereka berencana mencari tempat baru di timur. Mereka kembali bertualang. Jumlah leluhur sudah sangat banyak, hanya beberapa orang saja yang meneruskan perjalanan. Mereka adalah para pemberani yang gemar bertualang. Mereka menembus hutan belantara dan mendaki gunung yang tinggi. Mereka bertemu banyak sekali hal-hal menakjubkan. Dari permata hingga hewan unik. Semua halangan berhasil dilalui, hingga sang leluhur akhirnya tiba di sebuah selat.
Para leluhur memutuskan untuk menyeberang selat itu dan tiba di tanah Sumatera. Mereka berjalan terus ke pedalaman dan akhirnya tiba di sebuah Danau. Danau Toba yang besar dan berasap. Mereka memandang pada keluasan danau yang luar biasa. Membentang dengan indahnya. Leluhur yang paling pintar melihat adanya semburan abu kecil di pinggiran danau. Ia tersadar kalau inilah sumber gemuruh raksasa yang pernah leluhur mereka dengar dahulu. Inilah penyebab kenapa leluhur mulai mengungsi di masa lalu. Inilah penyebab keberadaan kita disini. Ini Danau Toba.
Para leluhur merasa telah tiba pada tujuannya. Merekapun tinggal di sekitar Danau Toba. Waktu berlalu dan leluhur terus beranak pinak. Merekalah leluhur suku Batak. Suku Batak lahir di sini, tak berapa lama setelah lahirnya Danau Toba. Bisa dikatakan kalau Batak dan Toba adalah saudara. Danau Toba lahir dan mengundang leluhur untuk menemaninya. Ya, gemuruh itu adalah tanda kelahiran Danau Toba. Ia berasal dari Letusan Gunung Api raksasa yang melontarkan abu-abunya ke angkasa. Itulah asal usul Danau Toba.
Perbandingan letusan toba dengan letusan supervolcano lainnya
Apa sebenarnya yang Kita Ajarkan?
Banyak yang kita ajarkan lewat dongeng di atas ketimbang sekedar masalah hidup sederhana, kutukan, keajaiban, keserakahan dan kesetiaan. Kita bicara tentang bagaimana danau Toba mengubah sejarah evolusi manusia. Itu sebuah keterkaitan besar antara danau Toba dengan seluruh umat manusia.
Kisah di atas adalah ringkasan singkat mengenai migrasi manusia selama puluhan ribu tahun yang dipicu oleh letusan Toba. Peristiwa letusan Toba adalah bencana kiamat bagi leluhur umat manusia kala itu. Dari simulasi komputer, diperkirakan suhu global turun sekitar 10 derajat Celsius setelah letusan. Akibatnya dalam sepuluh tahun terjadi musim dingin vulkanis di Bumi.
Letusan Toba memberi begitu banyak abu di atmosfer. Sinar matahari tertutup dan uap air terserap ke dalamnya. Dengan kata lain, musim dingin yang terjadi bersifat kering. Pepohonan berkurang drastis, begitu juga padang rumput dan membuat punah banyak mamalia dan hampir menamatkan riwayat evolusi manusia.
Dunia menjadi gelap, dingin dan kering selama hampir dua puluh tahun. Sulit bagi manusia untuk bertahan hidup. Prinsip evolusi mengatakan beradaptasilah atau kau punah.
Wilayah yang ditutupi abu vulkanis mencakup Sumatera, Jawa Barat, Kalimantan belahan barat, Asia Tenggara dan Asia Selatan. Daerah ini daerah tropis sehingga sulit ditemukan adanya kerangka manusia purba yang memberi petunjuk tentang kehidupan leluhur kita saat itu. Lingkungan tropis yang lembab membuat tulang cepat hancur sebelum menjadi fosil.
Walau begitu, di daerah perbatasan seperti Afrika selatan dan timur, bukti-bukti arkeologis menunjukkan adanya perubahan teknologi yang besar di masa itu. Sebuah petunjuk adanya proses adaptasi yang dilakukan oleh leluhur kita agar dapat bertahan hidup. Jika manusia purba di Afrika yang tidak tertutup abu beradaptasi, apalagi yang ada di daerah tertutup debu seperti India di Asia Selatan.
Seberapa besar adaptasi yang dilakukan leluhur kita saat itu tergantung pada jenis manusia apa yang ada di Afrika atau India. Manusia modern, leluhur sesungguhnya kita, belum lagi tinggal di Asia masa itu. Mereka datang dari Afrika ke Asia 60 ribu tahun lalu, sementara letusan Toba terjadi 73 ribu tahun lalu.
Manusia purba yang tinggal di Asia saat letusan gunung Toba adalah Homo erectus. Mereka sudah tinggal di sana paling tidak sejuta tahun, seperti bukti dari fosil-fosil Sangiran dan lainnya di Jawa.
Walau begitu, manusia modern tampaknya sudah ada di Israel pada 130 ribu tahun lalu dan kemudian di Arab pada 85 ribu tahun lalu, berdasarkan fosil dari Jebel Faya. Leluhur kita melewati dua jalur masuk, dari daratan di ujung utara Laut Merah dan di ujung selatan Laut Merah. Kedua daerah ini lebih dekat lagi ke parameter abu letusan Gunung Toba yang berbatasan darat di Pakistan. Sayangnya belum ada cukup bukti yang menunjukkan kalau manusia modern di daerah ini mengevolusikan teknologi untuk beradaptasi seperti leluhur kita di Afrika Timur dan Selatan.
Bila manusia modern bahkan telah ada di dalam perimeter letusan danau Toba di masa ini, seperti India misalnya, maka teknologi akan lebih berkembang lagi. Atau mungkin mereka punah dan digantikan oleh leluhur kita yang juga leluhur mereka, yang datang dalam gelombang kedua setelah letusan. Populasi manusia modern yang masih tersisa setelah bencana Toba dapat berbaur dengan pendatang baru mereka dan mengadopsi teknologi mereka. Atau mungkin leluhur dari gelombang kedua (H. sapiens) menghancurkan penduduk asli (H. sapiens) dan kemudian juga menghancurkan Homo erectus yang lebih asli lagi, seperti mereka yang tinggal di Jawa. Dan memulai kekuasaan besar manusia di Asia Selatan dan Tenggara, termasuk di Indonesia.
Masih banyak PR yang bisa dikerjakan para ilmuan mengenai jalur migrasi manusia modern sebelum dan sesudah bencana Toba. Apapun itu, bencana Toba jelas memberikan arti yang besar bagi sejarah evolusi kita. Bisa jadi ia lah penyebab keberadaan kita sekarang di Indonesia. Karenanya, fakta ilmiah asal usul danau Toba jauh lebih berharga daripada dongeng asal usul danau Toba.

SEJARAH KEBO IWO ( BALI )

Di desa Bedahulu wilayah kabupaten Tabanan, Bali pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri. Mereka kaya, hanya saja mereka belum mempunyai anak. Bagi penduduk Bali pada masa itu, manusia yang belum mempunyai keturunan adalah manusia yang siasia hidupnya.
Suatu hari mereka pergi ke Pura Desa. Mereka memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberi keturunan. Waktu pun berlalu. Sang istri mulai mengandung. Betapa bahagianya mereka. Beberapa bulan kemudian, lahirlah seorang bayi laki-laki.
Bayi tersebut hendak disusui oleh ibunya, namun jarinya terus menunjuk ke arah sebuah nasi kukus. Bahwa nantinya anak ini akan menjadi tokoh besar, sudah nampak tanda- tandanya sejak dini.
Bayi itu menangis merengek seolah meminta sesuatu. Sang Ibu kasian mendengar rengekan sang bayi , Ibu kemudian mengambil nasi kukus tersebut dan mencoba untuk memberikannya pada bayi. Ibu bergumam dalam hatinya : Apakah anak ini ingin merasakan nasi kukusan ini? Umurnya belum cukup untuk makan nasi?”
Tak dinyana ternyata bayi tersebut memakan nasi kukus tersebut dengan lahapnya. Ibu bayi tersebut menampakkan keterkejutan yang sangat. Ketika baru lahir, anak tersebut sudah bisa untuk memakan nasi… Ibu:” Astaga, Kau telah berikan anak yang luar biasa, ya Hyang Widi…
Ternyata yang lahir bukanlah bayi biasa. Ketika masih bayi pun ia sudah bisa makan makanan orang dewasa. Setiap hari anak itu makin banyak dan makin banyak.
Anak itu tumbuh menjadi orang dewasa yang tinggi besar. Karena itu ia dipanggil dengan nama Kebo Iwa, yang artinya paman kerbau.
Kebo Iwa makan dan makan terus dengan rakus. Lama-lama habislah harta orang tuanya untuk memenuhi selera makannya. Mereka pun tak lagi sanggup memberi makan anaknya.
Dengan berat hati mereka meminta bantuan desa. Sejak itulah segala kebutuhan makan Kebo Iwa ditanggung desa. Penduduk desa kemudian membangun rumah yang sangat besar untuk Kebo Iwa. Mereka pun memasak makanan yang sangat banyak untuknya. Tapi lama-lama penduduk merasa tidak sanggup untuk menyediakan makanan. Kemudian mereka meminta Kebo Iwa untuk memasak sendiri. Mereka cuma menyediakan bahan mentahnya. Bahan-bahan pangan tersebut diolah oleh Kebo Iwa di Pantai Payan, yang bersebelahan dengan Pantai Soka.
Danau Beratan merupakan tempat dimana , Kebo Iwa biasanya membersihkan, walaupun jaraknya cukup jauh namun dengan tubuh besarnya jarak tidak menjadi masalah baginya, dia bisa mencapai setiap tempat yang diinginkannya di wilayah Bali dengan waktu singkat.
Kebo Iwa memang serba besar. Jangkauan kakinya sangat lebar, sehingga ia dapat bepergian dengan cepat. Kalau ia ingin minum, Kebo Iwa tinggal menusukkan telunjuknya ke tanah. Sehingga terjadilah sumur kecil yang mengeluarkan air.
Walaupun terlahir dengan tubuh besar, namun Kebo Iwa adalah seorang pemuda dengan hati yang lurus. Suatu ketika dalam perjalanannya pulang dariDanau beratan, Tampak segerombolan orang dewasa yang tidak berhati lurus, Dari kejauhan para warga desa merasa sangat cemas. Tampak seorang dari mereka tersita perhatiannya pada seorang gadis cantik. Laki-laki itu menggoda gadis ini dengan kasar, gadis ini menjadi takut dan enggan berbicara. Laki-laki itu semakin bernafsu dan tangan-tangannya mulai melakukan tindakan yang tidak senonoh.
Tiba-tiba Kebo Iwa muncul di belakang gerombolan tersebut, mencengkeram tangan salah seorang dari mereka, nampak kegeraman terpancar dari wajahnya, laki-laki itu menjerit kesakitan, gerombolan itu sangat terkejut melihat Kebo Iwa yang begitu besar, ketakutan nampak dari raut muka gerombolan tersebut. Gerombolan tersebut lari tunggang langgang.
Demikianlah Kebo Iwa membalas jasa baik para warga desanya dengan menjaga keamanan di mana dia tinggal. Tubuh yang besar sebagai karunia dari Sang Hyang Widi dimanfaatkan dengan sangat baik dan benar oleh Kebo Iwa.
Pada abad 11 Masehi, sebuah karya pahat yang sangat megah dan indah dibuat di dinding Gunung Kawi, Tampaksiring. Kebo Iwa yang memahat dinding gunung dengan indahnya, hanya dengan menggunakan kuku dari jari tangannya saja. Karya pahat tersebut dibuat hanya dalam waktu semalam suntuk, menggunakan kuku dari jari tangan Kebo Iwa.
Pahatan tersebut diperuntukkan memberikan penghormatan kepada Raja Udayana, Raja Anak Wungsu ,Permaisuri dan perdana menteri raja yang disemayamkan disana. Raja Anak Wungsu adalah raja yang berhasil mempersatukan Bali.
Salah satu hal yang paling istimewa dari Kebo Iwa adalah kemampuannya untuk membuat sumur mata air. Kebo Iwa dengan segenap kekuatan menusukkan jari tangannya ke dalam tanah. Dengan kekuatan jari tangannya yang dahsyat, dia mampu mengadakan sebuah sumur mata air, hanya dengan menusukkan jari telunjuknya ke dalam tanah.

Beragam kemampuan yang luar biasa tersebut, menyebabkan timbulnya daya tarik tersendiri dari pribadi seorang Kebo Iwa. Dan kekuatan luar biasa itu, menyebabkan seorang raja yang berkuasa keturunan terakhir
dari Dinasti Warma Dewa, bernama Sri Astasura Bumi Banten… menginginkan Kebo Iwa untuk menjadi salah satu patihnya di wilayah Blahbatuh…Yang juga dikenal dengan sebutan Raja Bedahulu. (‘Beda’ diartikan sebagai kekuatan yang berbeda). Kebo Iwa diangkat menjadi Patih kerajaan dan saat itu dia mengucapkan Janji bahwa selama Kebo Iwa masih bernafas Bali tidak akan pernah dikuasi.
Dengan dukungan dari patih Kebo Iwa yang luar biasa kuat, Sri Astasura Bumi Banten menyatakan bahwa kerajaannya tidak akan mau ditundukkan oleh Kerajaan Majapahit yang berkehendak untuk menaklukkan kerajaan di Bali.
Adapun kerajaan Majapahit waktu itu dipimpin oleh Raja Tri Bhuwana Tungga Dewi, dengan patihnya yang paling terkenal dengan terkenal dengan Sumpah Palapanya (sumpah untuk tidak menikmati kenikmatan dunia bila seluruh wilayah nusantara belum dipersatukan di bawah panji Majapahit) yang bernama Gajah Mada.
Karena kehebatannya, Kebo Iwa dapat menahan serbuan pasukan Majapahit yang hendak menaklukkan Bali. Semua kapal-kapal perang Majapahit ditenggelamkan selagi berada di Selat Bali.
Maha Patih Majapahit pun mengatur siasat. Dalam siasat yang diatur, Gajah Mada memberikan pujian kepada Baginda Sri Astasura Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa tanpa menimbulkan kecurigaan. Lantas, Raja Majapahit membujuk Patih kebo Iwa untuk melakukan perjalanan ke Majapahit guna menikahi wanita terhormat nan jelita pilihan raja yang berasal dari Lemah Tulis.
Menanggapi tawaran dari Majapahit, Patih Kebo Iwa yang setia terhadap rajanya, memohon petunjuk dan persetujuan dari baginda Sri Astasura Bumi Banten. Sang Raja menyetujuinya tanpa rasa curiga.Sebelum pergi ke Majapahit, Patih Kebo Iwa terlebih dahulu melakukan upacara keagamaan di Pura Uluwatu, untuk meminta kekuatan dari Sang Hyang Rudra. Dan Sang Hyang Rudra memenuhi permintaan Kebo Iwa, mengakibatkan meningkatnya kekuatan dan kesaktian menjadi sangat luar biasa.
Kedatangan Patih Kebo Iwa ke tanah Majapahit menyebabkan para tentara, baik yang belum pernah melihatnya maupun yang pernah takluk atas kekuatannya, menjadi terperangah, kagum, bercampur rasa ngeri dan waspada, Tentara Majapahit, menampakkan ekspresi terkejut dan cemas. Arah pandang mereka terpusat ke satu tujuan yang sama. Beberapa diantara mereka nampak sedang berbisik pelan dengan teman yang berada di sebelahnya; “Lihatlah ukuran tubuhnya! Luar biasa ! Mengerikan !”.
Patih Gajah Mada menyambut kedatangan Patih Kebo Iwa: “Salam, Patih yang tangguh ! Selamat datang di Kerajaan Majapahit” Patih Kebo Iwa yang menimpali salam dari Patih Gajah Mada. Kebo Iwa : “Terima Kasih Patih, kiranya anda bersedia untuk langsung menjelaskan maksud dari Baginda Tri Bhuwana Tungga Dewi yang meminta saya untuk datang ke Majapahit.
Gajah Mada : “Seperti yang telah dikabarkan sebelumnya, Patih kebo Iwa, baginda Raja mengharapkan kedatangan patih guna menjalin suatu tali persahabatan dengan Kerajaan Bedahulu di Bali dan juga berharap agar patih bersedia menemui wanita terhormat pilihan baginda yang dirasa pantas untuk mendampingi seorang patih yang tangguh seperti anda”.
Gajah Mada menarik nafas panjang kemudian melanjutkan kata-katanya: “Akan tetapi sebelumnya, akan sangat berati apabila Patih kerajaan. Kebo Iwa berkenan membuat sumur air di sana yang nantinya akan dipersembahkan untuk wanita calon pendamping anda. Lebih lagi, sumur itu nantinya juga akan dimanfaatkan oleh rakyat kerajaan Majapahit yang saat ini sedang kekurangan air. Kiranya patih berkenan mengabulkan permohonan ini.
Patih Kebo Iwa memiliki jiwa besar dan lurus hatinya, akhirnya diapun meluluskan permintaan tersebut.Nampak Patih Kebo Iwa yang sedang mempertimbangkan permintaan tersebut. Kemudian memutuskan untuk memenuhi permintaan tersebut. Kebo Iwa (berpikir sejenak) kemudian dia berkata: “Baiklah, biarlah kekuatanku ini kupergunakan untuk sesuatu yang menghadirkan berkat bagi orang banyak”.
Tanpa banyak cakap lagi, Patih Kebo Iwa segera melakukan aktivitasnya untuk menciptakan sebuah sumur air. Sebelum memulai pekerjaannya, tidak lupa Patih Kebo Iwa meminta pedoman dari Sang Hyang Widi. Kebo Iwa : (dalam hati) Ya yang Kuasa, segala yang akan saya lakukan semoga menggambarkan kebesaran namaMu.Kebo Iwa mulai menggali sumur di tempat yang telah ditunjuk.
Dalam waktu yang cukup singkat, sumur telah tergali cukup dalam. Namun belum ada mata air yang keluar. Di atas lubang sumur yang digali oleh Patih Kebo Iwa, para prajurit Majapahit terlihat berkerumun, nampak mereka memusatkan pehatian pada Patih Gajah Mada. Seakan mereka menantikan sesuatu perintah…Tiba-tiba Gajah Mada berteriak: “Timbun dia dengan batu………!!!!” Seketika itu juga, para prajurit menimbun kembali lubang sumur yang sedang dibuat, dengan Patih Kebo Iwa berada di dalamnya.

Para prajurit menimbun lubang sumur dengan batu hasil galian itu sendiri, nampak Kebo Iwa sangat terkejut dan berusaha menahan jatuhnya batu. Dalam waktu yang singkat, lubang sumur itupun tertutup rapat. Mengubur
seorang pahlawan besar didalamnya. Patih Gajah Mada yang berbicara kepada para parjuritnya.Gajah Mada : “Sungguh amat disayangkan seorang pahlawan besar seperti dia harus mengalami ini. Namun, hal ini terpaksa harus dilakukan, agar nusantara ini dapat dipersatukan. Dengan ini kerajaan Bali akan menjadi bagian dari Majapahit”.
Tiba-tiba timbunan batu melesat ke segala penjuru, menghantam prajurit Majapahit. Terdengar teriakan membahana dari dalam sumur. Kebo Iwa : (berteriak) “Belum ! Bali masih tetap merdeka, karena nafasku masih berhembus !!. Batu-batu yang ditimbunkan melesat kembali keangkasa dibarengi dengan teriakan prajurit Majapahit yang terhempas batu. Dari dalam sumur, keluarlah Patih Kebo Iwa, yang ternyata masih terlalu kuat untuk dikalahkan.
Patih Gajah Mada terkejut, menyaksikan Patih Kebo Iwa yang masih perkasa, dan beranjak keluar dari lubang sumur. Kebo Iwa : “Dan pembalasan adalah apa yang kutuntut dari sebuah pengkhianatan !” Patih Kebo Iwa menyerang Patih Gajah Mada kemarahan dan dendam mewarnai pertempuran. Akibat amarah dan dendam yang dirasakan oleh Patih Kebo Iwa, pertempuran berlangsung sengit selama beberapa waktu.
Disela-sela saling serang Gajah Mada berteriak:”Untuk memersatukan dan memperkuat nusantara, segenap kerajaan hendaklah dipersatukan terlebih dahulu. Dan kau berdiri di garis yang salah sebagai seorang penghalang !”.

Kesaktian Patih Kebo Iwa, sungguh menyulitkan usaha Patih Gajah Mada untuk menundukkannya. Pertempuran antara keduanya masih berlangsung hebat, namun amarah dan dendam Patih Kebo Iwa mulai menyurut…Dan rupanya Patih Kebo Iwa tengah bertempur seraya berpikir … Dan apa yang tengah dipikirkan
olehnya, membuat dia harus membuat keputusan yang sulit… Kebo Iwa : (dalam hati) Kerajaan Bali pada akhirnya akan dapat ditaklukkan oleh usaha yang kuat dari orang ini, keinginannya untuk mempersatukan nusantara agar menjadi kuat kiranya dapat aku mengerti kini.
Namun apabila, aku menyetujui niatnya dan ragaku masih hidup, apa yang akan aku katakan nantinya pada Baginda Raja sebagai sangkalan atas sebuah prasangka pengkhianatan ? Masih dalam keadaan bertempur, secara sengaja Patih Kebo Iwa melontarkan pernyataan yang intinya mengenai hal untuk mengalahkan kesaktiannya.
Kebo Iwa : “Wahai Patih Gajah Mada ! Cita-citamu untuk membuat nusantara menjadi satu dan kuat kiranya dapat aku mengerti, namun selama ragaku tetap hidup sebagai abdi rajaku, aku akan menjadi penghalangmu. Maka, taklukkan aku, hilangkan kesaktianku dengan menyiramkan bubuk kapur ke tubuhku.
Pernyataan Patih Kebo Iwa rupanya membuat terkesiap Patih Gajah Mada. Patih Gajah Mada menunjukkan reaksi keheranan yang amat sangat atas perkataan Patih Kebo Iwa.
Gajah Mada yang mengerti atas keinginan Kebo Iwa, nampak menghantamkan jurusnya ke batu kapur, batu itupun luluh lantakmenjadi serpihan bubuk.
Patih Gajah Mada menyapukan bubuk tersebut ke arah Patih Kebo Iwa dengan ilmunya, bubuk kapur menyelimuti tubuh sang patih Nampak Patih Kebo Iwa, sesak napasnya oleh karena bubuk kapur tersebut.
Kiranya bubuk kapur tersebut membuat olah pernapasan Patih Kebo Iwa menjadi terganggu, hal tersebut mengakibatkan kesaktian tubuh Patih Kebo Iwa menjadi lenyap.Patih Gajah Mada melesat ke arah Patih Kebo Iwa,menusukkan kerisnya ke tubuh Kebo Iwa.
Dan sebelum kepergiannya, dengan sisa tenaga yang ada Patih Kebo Iwa mengutarakan apa yang ingin dikatakan untuk terakhir kali. Patih Kebo Iwa : “Kiranya kematianku tidak sia-sia adanya…biarlah nusantara yang kuat bersatu hasil yang pantas atas harga hidupku”.
Patih Gajah Mada dengan raut muka sedih, memberikan jawaban atas perkataan Patih Kebo Iwa. Gajah Mada : “Kepergianmu sebagai tokoh besar akan terkenang dalam sejarah… Sejarah suatu nusantara yang satu dan kuat”.
Tak lama setelah mendengar pernyataan tersebut, napas terakhirpun pergilah sudah, meninggalkan raga seorang patih tertangguh dalam sejarah Bali… dan pertiwi pun meredup melepas kepergian salah satu putra terbaiknya.
Dengan meninggalnya Kebo Iwa, Bali pun dapat ditaklukkan Majapahit. Berakhirlah riwayat orang besar yang berjasa pada Pulau Bali.

SEJARAH KEN DEDES

Arca Prajnaparamita yang anggun ditemukan dekat candi Singhasari dipercaya sebagai arca perwujudan Ken Dedes (koleksi Museum Nasional Indonesia).
Ken Dedes adalah nama permaisuri dari Ken Arok pendiri Kerajaan Tumapel (Singhasari). Ia kemudian dianggap sebagai leluhur raja-raja yang berkuasa di Jawa, nenek moyang wangsa Rajasa, trah yang berkuasa di Singhasari dan Majapahit. Tradisi lokal menyebutkan ia sebagai perempuan yang memiliki kecantikan luar biasa, perwujudan kecantikan yang sempurna.
Perkawinan Pertama
Menurut Pararaton, Ken Dedes adalah putri dari Mpu Purwa, seorang pendeta Buddha dari desa Panawijen. Pada suatu hari Tunggul Ametung akuwu Tumapel singgah di rumahnya. Tunggul Ametung jatuh hati padanya dan segera mempersunting gadis itu. Karena saat itu ayahnya sedang berada di hutan, Ken Dedes meminta Tunggul Ametung supaya sabar menunggu. Namun Tunggul Ametung tidak kuasa menahan diri. Ken Dedes pun dibawanya pulang dengan paksa ke Tumapel untuk dinikahi.
Ketika Mpu Purwa pulang ke rumah, ia marah mendapati putrinya telah diculik. Ia pun mengutuk barangsiapa yang telah menculik putrinya, maka ia akan mati akibat kecantikan Ken Dedes.
Perkawinan Kedua
Tunggul Ametung memiliki pengawal kepercayaan bernama Ken Arok. Pada suatu hari Tunggul Ametung dan Ken Dedes pergi bertamasya ke Hutan Baboji. Ketika turun dari kereta, kain Ken Dedes tersingkap sehingga auratnya yang bersinar terlihat oleh Ken Arok.
Ken Arok menyampaikan hal itu kepada gurunya, yang bernama Lohgawe, seorang pendeta dari India. Menurut Lohgawe, wanita dengan ciri-ciri seperti itu disebut sebagai wanita nareswari yang diramalkan akan menurunkan raja-raja. Mendengar ramalan tersebut, Ken Arok semakin berhasrat untuk menyingkirkan Tunggul Ametung dan menikahi Ken Dedes.
Maka, dengan menggunakan keris buatan Mpu Gandring, Ken Arok berhasil membunuh Tunggul Ametung sewaktu tidur. Yang dijadikan kambing hitam adalah rekan kerjanya, sesama pengawal bernama Kebo Hijo. Ken Arok kemudian menikahi Ken Dedes, bahkan menjadi akuwu baru di Tumapel. Ken Dedes sendiri saat itu sedang dalam keadaan mengandung anak Tunggul Ametung.
Keturunan Ken Dedes
Lebih lanjut Pararaton menceritakan keberhasilan Ken Arok menggulingkan Kertajaya raja Kadiri tahun 1222, dan memerdekakan Tumapel menjadi sebuah kerajaan baru. Dari perkawinannya dengan Ken Arok, lahir beberapa orang anak yaitu, Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu. Sedangkan dari perkawinan pertama dengan Tunggul Ametung, Ken Dedes dikaruniai seorang putra bernama Anusapati.
Seiring berjalannya waktu, Anusapati merasa dianaktirikan oleh Ken Arok. Setelah mendesak ibunya, akhirnya ia tahu kalau dirinya bukan anak kandung Ken Arok. Bahkan, Anusapati juga diberi tahu kalau ayah kandungnya telah mati dibunuh Ken Arok.
Maka, dengan menggunakan tangan pembantunya, Anusapati membalas dendam dengan membunuh Ken Arok pada tahun 1247.
Keistimewaan Ken Dedes
Tokoh Ken Dedes hanya terdapat dalam naskah Pararaton yang ditulis ratusan tahun sesudah zaman Tumapel dan Majapahit, sehingga kebenarannya cukup diragukan. Namanya sama sekali tidak terdapat dalam Nagarakretagama atau prasasti apa pun. Mungkin pengarang Pararaton ingin menciptakan sosok leluhur Majapahit yang istimewa, yaitu seorang wanita yang bersinar auratnya.
Keistimewaan merupakan syarat mutlak yang didambakan masyarakat Jawa dalam diri seorang pemimpin atau leluhurnya. Masyarakat Jawa percaya kalau raja adalah pilihan Tuhan. Ken Dedes sendiri merupakan leluhur raja-raja Majapahit versi Pararaton. Maka, ia pun dikisahkan sejak awal sudah memiliki tanda-tanda sebagai wanita nareswari. Selain itu dikatakan pula kalau ia sebagai seorang penganut Buddha yang telah menguasai ilmu karma amamadang, atau cara untuk lepas dari samsara.
Dalam kisah kematian Ken Arok dapat ditarik kesimpulan kalau Ken Dedes merupakan saksi mata pembunuhan Tunggul Ametung. Anehnya, ia justru rela dinikahi oleh pembunuh suaminya itu. Hal ini membuktikan kalau antara Ken Dedes dan Ken Arok sesungguhnya saling mencintai, sehingga ia pun mendukung rencana pembunuhan Tunggul Ametung. Perlu diingat pula kalau perkawinan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan.

Rabu, 03 Agustus 2011

TUNGGUL SABDO JATI DOYO AMONG ROGO ( SEMAR ) 1610

SEMAR. Jangan diartikan sebutan Dahyang karena berdasarkan kamus Bahasa Jawa arti dari Dahyang adalah : makhluk halus / maya, sedangkan Bhatara Ismaya / Semar tidaklah selamanya makhluk halus, karena didalam sejarah Nusantara / Indonesia beliau sering menjelma dan menjelma lagi dalam waktu yang tidak lama lagi, karena beliau Pamong Ksatria Nusantara yang bisa menciptakan situasi, Tata Tentram Kitha Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi di Nusantara ini.
Penjelmaan SEMAR di Nusantara berubah-ubah sesuai jamannya seperti :
Jaman Kerajaan Singosari I (Rejeng) sekitar gunung Bromo, beliau bernama Kyai Tuki Buda Manang, Munung
Jaman Kediri, beliau bernama Kyai Bancak
Jaman Majapahit beliau bernama Kyai Sabdopalon
Setelah kehancuran Kerajaan Majapahit, beliau menguasai Kerajaan Gaib / Lelembut, beliau bernama Kaki Tunggul Sabdo Jati Doyo Among Rogo
Untuk penjelmaan nanti, beliau kembali bernama Semar dan muncul bersamaan Pralaya Nusantara, banyak bencana di Indonesia ini dengan menelan banyak korban, kapan itu? Kita tunggu saja nanti.
Istilah Bhatara bukan berarti Raja yang mulia (Noble Lord), akan tetapi lebih mencakup penjelmaan swataara yaitu penjelmaan Dewata terutama Dewa Wisnu. Secara etimologi kata Ismaya berasal dari akar kata Iish artinya menguasai, sedangkan mayaa artinya aspek dinamis Substansi Universal. Jadi kata Ismaya mengandung arti menguasai aspek dinamis Substansi Universal. Ismaya merupakan kesadaran kosmis dinamis yang dilambangkan dalam wujud bulat Bathara Ismaya / Semar yang bergerak.
Ditinjau dari pelaksanaan Yoga, fakta metaphisis menempatkan beliau pada tataran “Avadhoot” yang mewujudkan Shakti Baglamukti sehingga terbatasinya kesadaran sarira dengan segala macam dualitas dan segala standart konvensional, yang merupakan suatu tataran / tingkatan di bidang Yoga yang dilambangkan oleh Bhatara Ismaya / Semar dalam kiprahnya / kroda dengan membalikkan sarira sehingga posisinya dari berhadapan (dualistis) menjadi searah (tunggal). Searah meniadakan dualitas / sambil “ngenthut” (ava menjadi hawa dan dhoot menjadi kentut), sehingga menjadi jelas bahwa Bhatara Ismaya merupakan aspek dinamis kosmis Hyang Tunggal disamping aspek statis kosmis Hyang Tunggal. Kalau aspek statis kosmis Hyang Tunggal dilambangkan sebagai titik pusat lingkaran, maka Bhatara Ismaya merupakan bagian luar titik sampai garis lingkaran yang bergerak.
Dari tingkatan Yoga Langka Dwipa yang terdiri tujuh tataran (Sapta Murti) maka Hyang Tunggal menempati ubun-ubun / Sahasra-Cakra, sedangkan Bhatara Ismaya menempati jambul / Soma Cakra. Dalam hirarki Yoga di India, Soma Cakra ditetapkan sebagai Cakra Rahasia karena para Yogi India hanyalah berbicara pada kualitas moral dan psikologis saja.
Bhatara Ismaya mematuhi perintah Hyang Wenang yaitu tidak akan menempatkan diri dalam visi yogi-yogi India, itulah sebabnya dalam Ramayana dan Mahabarata versi India figure Semar tidak ada.
Apa hubungannya Bhatara Ismaya dengan Hyang Manikmaya / Shiwa? Bhatara Ismaya adalah kesadaran kosmis-dinamis, maka dalam pelaksanaannya gerak dari kosmis-dinamis meliputi:
Pertumbuhan / Brih / Brahma / yang berpusat di simpul Brahma Granthi (di tengah selangkangan) yang oleh R.Ng.Ronggowarsito di bahasakan Arab dengan istilah “Baital Mukhadar”
Pemelihara / Vishi (Wisnu) yang serba meliputi dan berpusat di simpul Vishnu (hati)/ Vishnu Granthi yang di bahasakan Arab menjadi Baital Muharam
Pemulihan kembali (Shiv) / Shiva berpusat di Simpul Shiva / di mata ketiga ditengah, ditengah kening dengan kedalaman 1,5 inchi, di bahasakan arab oleh R.Ng.Ronggowarsito menjadi Bital Ma’mur

Doktrin Tri Murti bersumber pada Bhagawan Vyasa (Abiyasa), yaitu Non-Arya keturunan Bharata yang sempurna hidupnya karena beliau telah mencapai Cirajiwi / Murca / lenyap, akan tetapi tidak pernah menemui para Yogi dalam visinya Yogi India.
Sebenarnya tidaklah sulit menemui beliau dalam visi, terutama bagi mereka yang mau bersusah payah untuk mendaki puncak Gunung Sapta Arga (Gunung Semeru). Bhagawan Abiyasa adalah guru yang berfungsi sebagai pembuka Pratyaksa Vidya yaitu pengetahuan langsung tanpa Indra dan Ratio.

Kembali pada tokoh Semar, maka ada petunjuk dalam serat Raja Pati Grendala yang menyebutkan dua tokoh Nusantara / Langka Dhvipa / Salmali Dhwipa / Lemuria / Indonesia itu Bathara Semar dan Sang Hyang Wamana. Kedua nama tersebut adalah sama, karena nama dari leluhurnya Orang asli Nusantara yang merupakan Avatara ke-5 Dewa Wisnu dalam wujud manusia kerdil dari lembah Bhagawan Soma / Sala adalah leluhur / Pitri Bangsa Nusantara dan Agama Triwikrama yaitu Agama asli berkembang melalui melalui proses heriditi kurang-lebih 2 juta tahun SM.
Jadi dengan demikian terjawab sudah bahwa Semar itu adalah Cikal Bakal Bangsa Nusantara yang merupakan bibit kawitan manusia Nusantara asli yang selalu menghormati leluhur.