Menjemput yang Tertinggal, Mengemaskan yang Tercecer, Mengingatkan yang Terlupa " ELING LAN WASPADA"

widgeo.net

Jumat, 05 Agustus 2011

SEJARAH GUNUNG TOBA (BATAK)

Asal Usul Danau Toba Sesungguhnya
Gunung Toba kini menjadi kompleks Danau Toba yang merupakan kaldera dengan Pulau Samosir di tengahnya.
Gunung Toba adalah gunung api raksasa yaitu gunung aktif dalam kategori sangat besar, diperkirakan meletus terakhir sekitar 74.000 tahun lalu menyisakan sebuah danau yaitu Danau Toba, Sumatera Utara, Indonesia sebagai kaldera terbesar di dunia.
Bukti ilmiah
Pada tahun 1939, geolog Belanda Van Bemmelen melaporkan, Danau Toba, yang panjangnya 100 kilometer dan lebarnya 30 kilometer, dikelilingi oleh batu apung peninggalan dari letusan gunung. Karena itu, Van Bemmelen menyimpulkan, Toba adalah sebuah gunung berapi. Belakangan, beberapa peneliti lain menemukan debu riolit (rhyolite) yang seusia dengan batuan Toba di Malaysia, bahkan juga sejauh 3.000 kilometer ke utara hingga India Tengah.
Beberapa ahli kelautan pun melaporkan telah menemukan jejak-jejak batuan Toba di Samudra Hindia dan Teluk Benggala. Para peneliti awal, Van Bemmelen juga Aldiss dan Ghazali (1984) telah menduga Toba tercipta lewat sebuah letusan mahadahsyat. Namun peneliti lain, Vestappen (1961), Yokoyama dan Hehanusa (1981), serta Nishimura (1984), menduga kaldera itu tercipta lewat beberapa kali letusan. Peneliti lebih baru, Knight dan sejawatnya (1986) serta Chesner dan Rose (1991), memberikan perkiraan lebih detail: kaldera Toba tercipta lewat tiga letusan raksasa.
Penelitian seputar Toba belum berakhir hingga kini. Jadi, masih banyak misteri di balik raksasa yang sedang tidur itu. Salah satu peneliti Toba angkatan terbaru itu adalah Fauzi dari Indonesia, seismolog pada Badan Meteorologi dan Geofisika. Sarjana fisika dari Universitas Indonesia lulusan 1985 ini berhasil meraih gelar doktor dari Renssealer Polytechnic Institute, New York, pada 1998, untuk penelitiannya mengenai Toba.
Berada di tiga lempeng tektonik
Letak Gunung Toba (kini: Danau Toba), di Indonesia memang rawan bencana. Hal ini terkait dengan posisi Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik, yakni Eurasia, Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Sebanyak 80% dari wilayah Indonesia, terletak di lempeng Eurasia, yang meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Banda.
Lempeng benua ini hidup, setiap tahunnya mereka bergeser atau menumbuk lempeng lainnya dengan jarak tertentu. Lempeng Eurasia yang merupakan lempeng benua selalu jadi sasaran. Lempeng Indo-Australia misalnya menumbuk lempeng Eurasia sejauh 7 cm per tahun. Atau Lempeng Pasifik yang bergeser secara relatif terhadap lempeng Eurasia sejauh 11 cm per tahun. Dari pergeseran itu, muncullah rangkaian gunung, termasuk gunung berapi Toba.
Jika ada tumbukan, lempeng lautan yang mengandung lapisan sedimen menyusup di bawahnya lempeng benua. Proses ini lantas dinamakan subduksi atau penyusupan.
Gunung hasil subduksi, salah satunya Gunung Toba. Meski sekarang tak lagi berbentuk gunung, sisa-sisa kedasahyatan letusannya masih tampak hingga saat ini. Danau Toba merupakan kaldera yang terbentuk akibat meletusnya Gunung Toba sekitar tiga kali yang pertama 840 juta tahun lalu dan yang terakhir 74.000 tahun lalu. Bagian yang terlempar akibat letusan itu mencapai luas 100 km x 30 km persegi. Daerah yang tersisa kemudian membentuk kaldera. Di tengahnya kemudian muncul Pulau Samosir.
Letusan
Sebelumnya Gunung Toba pernah meletus tiga kali.
Letusan pertama terjadi sekitar 840 juta tahun lalu. Letusan ini menghasilkan kaldera di selatan Danau Toba, meliputi daerah Prapat dan Porsea.
Letusan kedua yang memiliki kekuatan lebih kecil, terjadi 500 juta tahun lalu. Letusan ini membentuk kaldera di utara Danau Toba. Tepatnya di daerah antara Silalahi dengan Haranggaol. Dari dua letusan ini, letusan ketigalah yang paling dashyat.
Letusan ketiga 74.000 tahun lalu menghasilkan kaldera, dan menjadi Danau Toba sekarang dengan Pulau Samosir di tengahnya.

Gunung Toba ini tergolong Supervolcano. Hal ini dikarenakan Gunung Toba memiliki kantong magma yang besar yang jika meletus kalderanya besar sekali. Volcano kalderanya ratusan meter, sedangkan Supervolacano itu puluhan kilometer.
Yang menarik adalah terjadinya anomali gravitasi di Toba. Menurut hukum gravitasi, antara satu tempat dengan lainnya akan memiliki gaya tarik bumi sama bila mempunyai massa, ketinggian dan kerelatifan yang sama. Jika ada materi yang lain berada di situ dengan massa berbeda, maka gaya tariknya berbeda. Bayangkan gunung meletus. Banyak materi yang keluar, artinya kehilangan massa dan gaya tariknya berkurang. Lalu yang terjadi up-lifting (pengangkatan). Inilah yang menyebabkan munculnya Pulau Samosir.
Magma yang di bawah itu terus mendesak ke atas, pelan-pelan. Dia sudah tidak punya daya untuk meletus. Gerakan ini berusaha untuk menyesuaikan ke normal gravitasi. Ini terjadi dalam kurun waktu ribuan tahun. Hanya Samosir yang terangkat karena daerah itu yang terlemah. Sementara daerah lainnya merupakan dinding kaldera.
Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Danau ini merupakan danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir.
Danau Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata penting di Sumatera Utara selain Bukit Lawang dan Nias, menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Sejarah
Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2.800 km³, dengan 800 km³ batuan ignimbrit dan 2.000 km³ abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama 2 minggu. Debu vulkanik yang ditiup angin telah menyebar ke separuh bumi, dari Cina sampai ke Afrika Selatan. Letusannya terjadi selama 1 minggu dan lontaran debunya mencapai 10 km di atas permukaan laut.
Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan pada beberapa spesies juga diikuti kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60% dari jumlah populasi manusia bumi saat itu, yaitu sekitar 60 juta manusia. Letusan itu juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para ahli masih memperdebatkannya.
Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir.
Tim peneliti multidisiplin internasional, yang dipimpin oleh Dr. Michael Petraglia, mengungkapkan dalam suatu konferensi pers di Oxford, Amerika Serikat bahwa telah ditemukan situs arkeologi baru yang cukup spektakuler oleh para ahli geologi di selatan dan utara India. Di situs itu terungkap bagaimana orang bertahan hidup, sebelum dan sesudah letusan gunung berapi (supervolcano) Toba pada 74.000 tahun yang lalu, dan bukti tentang adanya kehidupan di bawah timbunan abu Gunung Toba. Padahal sumber letusan berjarak 3.000 mil, dari sebaran abunya.
Selama tujuh tahun, para ahli dari oxford University tersebut meneliti projek ekosistem di India, untuk mencari bukti adanya kehidupan dan peralatan hidup yang mereka tinggalkan di padang yang gundul. Daerah dengan luas ribuan hektare ini ternyata hanya sabana (padang rumput). Sementara tulang belulang hewan berserakan. Tim menyimpulkan, daerah yang cukup luas ini ternyata ditutupi debu dari letusan gunung berapi purba.
Penyebaran debu gunung berapi itu sangat luas, ditemukan hampir di seluruh dunia. Berasal dari sebuah erupsi supervolcano purba, yaitu Gunung Toba. Dugaan mengarah ke Gunung Toba, karena ditemukan bukti bentuk molekul debu vulkanik yang sama di 2100 titik. Sejak kaldera kawah yang kini jadi danau Toba di Indonesia, hingga 3000 mil, dari sumber letusan. Bahkan yang cukup mengejutkan, ternyata penyebaran debu itu sampai terekam hingga Kutub Utara. Hal ini mengingatkan para ahli, betapa dahsyatnya letusan super gunung berapi Toba kala itu. Bukti-bukti yang ditemukan, memperkuat dugaan, bahwa kekuatan letusan dan gelombang lautnya sempat memusnahkan kehidupan di Atlantis.
SEJARAH DANAU TOBA DGN PULAU SAMOSIR
Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran luas 100km x 30km di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir.
Danau Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata penting di
Sumatera Utara selain Bukit Lawang dan Nias, menarik wisatawan domestik
maupun mancanegara.
Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2800km3, dengan 800km3 batuan ignimbrit dan 2000km3
abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama 2 minggu.
Debu vulkanik yang ditiup angin telah menyebar ke separuh bumi, dari
cina sampai ke afrika selatan. Letusannya terjadi selama 1 minggu dan
lontaran debunya mencapai 10 KM diatas permukaan laut.
Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan pada beberapa spesies juga diikuti kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA,
letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60% dari
jumlah populasi manusia bumi saat itu yaitu sekitar 60 juta manusia.
Letusan itu juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para
ahli masih memperdebatkan soal itu.
Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir .
Danau toba sesungguhnya berasal dari sebuah letusan gunung berapi raksasa (supervolcano) yang terjadi 73 ribu tahun lalu. Letusan Toba ini adalah yang ketiga, dua letusan sebelumnya sudah pernah terjadi dalam jangka waktu 1 juta tahun. Letusan Toba yang menciptakan danau Toba sekarang diperkirakan memiliki indeks Ledakan Vulkanis 8 (Mega Kolosal) sedemikian hingga membentuk kompleks kawah berukuran 3 ribu km persegi. Volume erupsi diperkirakan antara 2 ribu hingga 3 ribu km kubik magma dan 800 km kubiknya terendapkan sebagai abu vulkanis. Ukuran ledakannya adalah dua kali letusan gunung Tambora tahun 1815. Letusan gunung Tambora saat itu saja sudah cukup menghasilkan “Tahun Tanpa Musim Panas” di belahan bumi utara.
Menurut Alan Robock, letusan Toba tidak memicu zaman es. Penelitiannya yang menganalisa emisi 6 miliar ton sulfur dioksida dalam simulasinya menunjukkan pendinginan global maksimum sekitar 15 °C, tiga tahun setelah letusan. Ini berarti garis pepohonan dan salju sekitar 3000 meter lebih rendah dari sekarang. Dalam beberapa dekade, iklim kembali pulih.
Walau ada banyak perbedaan pendapat dan metode, para ilmuan setuju kalau letusan super Toba mengakibatkan lapisan hujan abu yang sangat tebal dan masuknya gas-gas beracun ke atmofer, sehingga mempengaruhi iklim dunia masa itu. Beberapa menduga peristiwa ini memicu zaman es 1000 tahun yang terjadi kemudian.
Menceritakan Asal Usul Danau Toba sesungguhnya pada Anak-anak
Sains sekarang telah cukup maju untuk mengetahui asal usul danau Toba yang sesungguhnya. Dan cerita asal usul ini ternyata jauh lebih mengagumkan, jauh lebih mengesankan dari sekedar dongeng. Kenapa mengajarkan dongeng sementara sains telah memberikan penjelasan yang lebih spektakuler lagi mengenai asal usul Danau Toba? Tampaknya sebagian besar dari kita masih belum tahu tentang asal usul Danau Toba. Dan kalaupun tahu, masih tidak tahu cara mengkomunikasikan fakta ilmiah ini pada anak-anak. Berikut kami tawarkan sebuah cerita anak yang lebih spektakuler, berdasarkan fakta sesungguhnya, mengenai asal usul danau Toba.
Di Zaman Dahulu kala, Ada seorang pemburu yang tinggal di sebuah padang rumput. Ia adalah leluhur kita. Pekerjaannya sehari-hari adalah memburu hewan paginya, kembali ke tempat berkumpul bersama keluarganya di waktu petang.
Matahari baru terbenam kala itu. Sang pemburu asyik bermain dengan istri dan anak-anaknya. Anggota kelompok lain sedang menyalakan api. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara gemuruh dari langit.
Peta Fraktura Sisa Letusan di Danau Toba
Di waktu tengah malam, ada sesuatu yang muncul dari langit. Terjadi hujan yang aneh. Hujan abu. Sang pemburu dan kelompoknya harus segera meninggalkan tempat tersebut dan mencari tempat baru. Abu terus mengguyur. Pemburu dan keluarganya berusaha ke barat, menjauh dari asal abu. Setelah setahun mereka berjalan ke barat, mereka bertemu dengan hutan rimba dan pegunungan sangat tinggi. Daerah ini ganas. Walaupun banyak hewan buruan, tapi lebih sering para pemburu lah yang dimakan oleh hewan. Kepala suku memutuskan agar kelompok pergi ke utara dan menghindari hutan lebat di barat.
Maka berangkatlah para pemburu yang tersisa ke arah utara. Di utara mereka menemukan banyak sumber makanan, walaupun cuaca saat itu sangat dingin. Hewan hewan yang tidak mampu bertahan di cuaca dingin mudah diburu dan karenanya dapat menjamin kelangsungan kelompok.
Pada akhirnya para leluhur sampai di sebuah selat. Di seberang selat ada daratan. Walaupun sama saja dengan di sini, tapi mungkin ada hal baru di sana. Hewan-hewan di sini semakin langka dan iklim semakin kering. Maka para leluhur membuat sampan untuk menyeberangi selat.
Di seberang selat adalah daerah yang ternyata tidak lebih baik dari daerah asal para leluhur. Disini kering, pasir dan abu dimana-mana. Para leluhur harus berjalan terus di tepi pantai agar tidak terjebak di tengah gurun. Mereka terus berjalan dan berjalan.
Pada akhirnya mereka tiba di sebuah dunia yang aneh. Dunia abu-abu, segalanya penuh tertutup abu. Tampaknya lebih baik disini daripada di dunia pasir. Lewat musyawarah, akhirnya leluhur memutuskan untuk masuk ke dunia abu.
Di dunia abu ini, mereka bertemu dengan penduduk asli. Mereka sama dengan leluhur. Ternyata mereka adalah kelompok lain yang telah lebih dulu sampai di sini. Mereka bercengkerama dan berbagi cerita. Mereka juga berbagi trik dan cara bertahan hidup. Setiap anggota kelompok tahu cara membuat api karena disini malam dan siang hampir sama gelapnya. Dan tanpa api mereka dapat tersesat di hutan.
Seiring berjalannya waktu, debu tidak lagi turun. Matahari mulai jelas terlihat. Para leluhur memutuskan untuk tidak tinggal di dunia abu-abu yang sekarang mulai hijau. Mereka berencana mencari tempat baru di timur. Mereka kembali bertualang. Jumlah leluhur sudah sangat banyak, hanya beberapa orang saja yang meneruskan perjalanan. Mereka adalah para pemberani yang gemar bertualang. Mereka menembus hutan belantara dan mendaki gunung yang tinggi. Mereka bertemu banyak sekali hal-hal menakjubkan. Dari permata hingga hewan unik. Semua halangan berhasil dilalui, hingga sang leluhur akhirnya tiba di sebuah selat.
Para leluhur memutuskan untuk menyeberang selat itu dan tiba di tanah Sumatera. Mereka berjalan terus ke pedalaman dan akhirnya tiba di sebuah Danau. Danau Toba yang besar dan berasap. Mereka memandang pada keluasan danau yang luar biasa. Membentang dengan indahnya. Leluhur yang paling pintar melihat adanya semburan abu kecil di pinggiran danau. Ia tersadar kalau inilah sumber gemuruh raksasa yang pernah leluhur mereka dengar dahulu. Inilah penyebab kenapa leluhur mulai mengungsi di masa lalu. Inilah penyebab keberadaan kita disini. Ini Danau Toba.
Para leluhur merasa telah tiba pada tujuannya. Merekapun tinggal di sekitar Danau Toba. Waktu berlalu dan leluhur terus beranak pinak. Merekalah leluhur suku Batak. Suku Batak lahir di sini, tak berapa lama setelah lahirnya Danau Toba. Bisa dikatakan kalau Batak dan Toba adalah saudara. Danau Toba lahir dan mengundang leluhur untuk menemaninya. Ya, gemuruh itu adalah tanda kelahiran Danau Toba. Ia berasal dari Letusan Gunung Api raksasa yang melontarkan abu-abunya ke angkasa. Itulah asal usul Danau Toba.
Perbandingan letusan toba dengan letusan supervolcano lainnya
Apa sebenarnya yang Kita Ajarkan?
Banyak yang kita ajarkan lewat dongeng di atas ketimbang sekedar masalah hidup sederhana, kutukan, keajaiban, keserakahan dan kesetiaan. Kita bicara tentang bagaimana danau Toba mengubah sejarah evolusi manusia. Itu sebuah keterkaitan besar antara danau Toba dengan seluruh umat manusia.
Kisah di atas adalah ringkasan singkat mengenai migrasi manusia selama puluhan ribu tahun yang dipicu oleh letusan Toba. Peristiwa letusan Toba adalah bencana kiamat bagi leluhur umat manusia kala itu. Dari simulasi komputer, diperkirakan suhu global turun sekitar 10 derajat Celsius setelah letusan. Akibatnya dalam sepuluh tahun terjadi musim dingin vulkanis di Bumi.
Letusan Toba memberi begitu banyak abu di atmosfer. Sinar matahari tertutup dan uap air terserap ke dalamnya. Dengan kata lain, musim dingin yang terjadi bersifat kering. Pepohonan berkurang drastis, begitu juga padang rumput dan membuat punah banyak mamalia dan hampir menamatkan riwayat evolusi manusia.
Dunia menjadi gelap, dingin dan kering selama hampir dua puluh tahun. Sulit bagi manusia untuk bertahan hidup. Prinsip evolusi mengatakan beradaptasilah atau kau punah.
Wilayah yang ditutupi abu vulkanis mencakup Sumatera, Jawa Barat, Kalimantan belahan barat, Asia Tenggara dan Asia Selatan. Daerah ini daerah tropis sehingga sulit ditemukan adanya kerangka manusia purba yang memberi petunjuk tentang kehidupan leluhur kita saat itu. Lingkungan tropis yang lembab membuat tulang cepat hancur sebelum menjadi fosil.
Walau begitu, di daerah perbatasan seperti Afrika selatan dan timur, bukti-bukti arkeologis menunjukkan adanya perubahan teknologi yang besar di masa itu. Sebuah petunjuk adanya proses adaptasi yang dilakukan oleh leluhur kita agar dapat bertahan hidup. Jika manusia purba di Afrika yang tidak tertutup abu beradaptasi, apalagi yang ada di daerah tertutup debu seperti India di Asia Selatan.
Seberapa besar adaptasi yang dilakukan leluhur kita saat itu tergantung pada jenis manusia apa yang ada di Afrika atau India. Manusia modern, leluhur sesungguhnya kita, belum lagi tinggal di Asia masa itu. Mereka datang dari Afrika ke Asia 60 ribu tahun lalu, sementara letusan Toba terjadi 73 ribu tahun lalu.
Manusia purba yang tinggal di Asia saat letusan gunung Toba adalah Homo erectus. Mereka sudah tinggal di sana paling tidak sejuta tahun, seperti bukti dari fosil-fosil Sangiran dan lainnya di Jawa.
Walau begitu, manusia modern tampaknya sudah ada di Israel pada 130 ribu tahun lalu dan kemudian di Arab pada 85 ribu tahun lalu, berdasarkan fosil dari Jebel Faya. Leluhur kita melewati dua jalur masuk, dari daratan di ujung utara Laut Merah dan di ujung selatan Laut Merah. Kedua daerah ini lebih dekat lagi ke parameter abu letusan Gunung Toba yang berbatasan darat di Pakistan. Sayangnya belum ada cukup bukti yang menunjukkan kalau manusia modern di daerah ini mengevolusikan teknologi untuk beradaptasi seperti leluhur kita di Afrika Timur dan Selatan.
Bila manusia modern bahkan telah ada di dalam perimeter letusan danau Toba di masa ini, seperti India misalnya, maka teknologi akan lebih berkembang lagi. Atau mungkin mereka punah dan digantikan oleh leluhur kita yang juga leluhur mereka, yang datang dalam gelombang kedua setelah letusan. Populasi manusia modern yang masih tersisa setelah bencana Toba dapat berbaur dengan pendatang baru mereka dan mengadopsi teknologi mereka. Atau mungkin leluhur dari gelombang kedua (H. sapiens) menghancurkan penduduk asli (H. sapiens) dan kemudian juga menghancurkan Homo erectus yang lebih asli lagi, seperti mereka yang tinggal di Jawa. Dan memulai kekuasaan besar manusia di Asia Selatan dan Tenggara, termasuk di Indonesia.
Masih banyak PR yang bisa dikerjakan para ilmuan mengenai jalur migrasi manusia modern sebelum dan sesudah bencana Toba. Apapun itu, bencana Toba jelas memberikan arti yang besar bagi sejarah evolusi kita. Bisa jadi ia lah penyebab keberadaan kita sekarang di Indonesia. Karenanya, fakta ilmiah asal usul danau Toba jauh lebih berharga daripada dongeng asal usul danau Toba.

SEJARAH KEBO IWO ( BALI )

Di desa Bedahulu wilayah kabupaten Tabanan, Bali pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri. Mereka kaya, hanya saja mereka belum mempunyai anak. Bagi penduduk Bali pada masa itu, manusia yang belum mempunyai keturunan adalah manusia yang siasia hidupnya.
Suatu hari mereka pergi ke Pura Desa. Mereka memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberi keturunan. Waktu pun berlalu. Sang istri mulai mengandung. Betapa bahagianya mereka. Beberapa bulan kemudian, lahirlah seorang bayi laki-laki.
Bayi tersebut hendak disusui oleh ibunya, namun jarinya terus menunjuk ke arah sebuah nasi kukus. Bahwa nantinya anak ini akan menjadi tokoh besar, sudah nampak tanda- tandanya sejak dini.
Bayi itu menangis merengek seolah meminta sesuatu. Sang Ibu kasian mendengar rengekan sang bayi , Ibu kemudian mengambil nasi kukus tersebut dan mencoba untuk memberikannya pada bayi. Ibu bergumam dalam hatinya : Apakah anak ini ingin merasakan nasi kukusan ini? Umurnya belum cukup untuk makan nasi?”
Tak dinyana ternyata bayi tersebut memakan nasi kukus tersebut dengan lahapnya. Ibu bayi tersebut menampakkan keterkejutan yang sangat. Ketika baru lahir, anak tersebut sudah bisa untuk memakan nasi… Ibu:” Astaga, Kau telah berikan anak yang luar biasa, ya Hyang Widi…
Ternyata yang lahir bukanlah bayi biasa. Ketika masih bayi pun ia sudah bisa makan makanan orang dewasa. Setiap hari anak itu makin banyak dan makin banyak.
Anak itu tumbuh menjadi orang dewasa yang tinggi besar. Karena itu ia dipanggil dengan nama Kebo Iwa, yang artinya paman kerbau.
Kebo Iwa makan dan makan terus dengan rakus. Lama-lama habislah harta orang tuanya untuk memenuhi selera makannya. Mereka pun tak lagi sanggup memberi makan anaknya.
Dengan berat hati mereka meminta bantuan desa. Sejak itulah segala kebutuhan makan Kebo Iwa ditanggung desa. Penduduk desa kemudian membangun rumah yang sangat besar untuk Kebo Iwa. Mereka pun memasak makanan yang sangat banyak untuknya. Tapi lama-lama penduduk merasa tidak sanggup untuk menyediakan makanan. Kemudian mereka meminta Kebo Iwa untuk memasak sendiri. Mereka cuma menyediakan bahan mentahnya. Bahan-bahan pangan tersebut diolah oleh Kebo Iwa di Pantai Payan, yang bersebelahan dengan Pantai Soka.
Danau Beratan merupakan tempat dimana , Kebo Iwa biasanya membersihkan, walaupun jaraknya cukup jauh namun dengan tubuh besarnya jarak tidak menjadi masalah baginya, dia bisa mencapai setiap tempat yang diinginkannya di wilayah Bali dengan waktu singkat.
Kebo Iwa memang serba besar. Jangkauan kakinya sangat lebar, sehingga ia dapat bepergian dengan cepat. Kalau ia ingin minum, Kebo Iwa tinggal menusukkan telunjuknya ke tanah. Sehingga terjadilah sumur kecil yang mengeluarkan air.
Walaupun terlahir dengan tubuh besar, namun Kebo Iwa adalah seorang pemuda dengan hati yang lurus. Suatu ketika dalam perjalanannya pulang dariDanau beratan, Tampak segerombolan orang dewasa yang tidak berhati lurus, Dari kejauhan para warga desa merasa sangat cemas. Tampak seorang dari mereka tersita perhatiannya pada seorang gadis cantik. Laki-laki itu menggoda gadis ini dengan kasar, gadis ini menjadi takut dan enggan berbicara. Laki-laki itu semakin bernafsu dan tangan-tangannya mulai melakukan tindakan yang tidak senonoh.
Tiba-tiba Kebo Iwa muncul di belakang gerombolan tersebut, mencengkeram tangan salah seorang dari mereka, nampak kegeraman terpancar dari wajahnya, laki-laki itu menjerit kesakitan, gerombolan itu sangat terkejut melihat Kebo Iwa yang begitu besar, ketakutan nampak dari raut muka gerombolan tersebut. Gerombolan tersebut lari tunggang langgang.
Demikianlah Kebo Iwa membalas jasa baik para warga desanya dengan menjaga keamanan di mana dia tinggal. Tubuh yang besar sebagai karunia dari Sang Hyang Widi dimanfaatkan dengan sangat baik dan benar oleh Kebo Iwa.
Pada abad 11 Masehi, sebuah karya pahat yang sangat megah dan indah dibuat di dinding Gunung Kawi, Tampaksiring. Kebo Iwa yang memahat dinding gunung dengan indahnya, hanya dengan menggunakan kuku dari jari tangannya saja. Karya pahat tersebut dibuat hanya dalam waktu semalam suntuk, menggunakan kuku dari jari tangan Kebo Iwa.
Pahatan tersebut diperuntukkan memberikan penghormatan kepada Raja Udayana, Raja Anak Wungsu ,Permaisuri dan perdana menteri raja yang disemayamkan disana. Raja Anak Wungsu adalah raja yang berhasil mempersatukan Bali.
Salah satu hal yang paling istimewa dari Kebo Iwa adalah kemampuannya untuk membuat sumur mata air. Kebo Iwa dengan segenap kekuatan menusukkan jari tangannya ke dalam tanah. Dengan kekuatan jari tangannya yang dahsyat, dia mampu mengadakan sebuah sumur mata air, hanya dengan menusukkan jari telunjuknya ke dalam tanah.

Beragam kemampuan yang luar biasa tersebut, menyebabkan timbulnya daya tarik tersendiri dari pribadi seorang Kebo Iwa. Dan kekuatan luar biasa itu, menyebabkan seorang raja yang berkuasa keturunan terakhir
dari Dinasti Warma Dewa, bernama Sri Astasura Bumi Banten… menginginkan Kebo Iwa untuk menjadi salah satu patihnya di wilayah Blahbatuh…Yang juga dikenal dengan sebutan Raja Bedahulu. (‘Beda’ diartikan sebagai kekuatan yang berbeda). Kebo Iwa diangkat menjadi Patih kerajaan dan saat itu dia mengucapkan Janji bahwa selama Kebo Iwa masih bernafas Bali tidak akan pernah dikuasi.
Dengan dukungan dari patih Kebo Iwa yang luar biasa kuat, Sri Astasura Bumi Banten menyatakan bahwa kerajaannya tidak akan mau ditundukkan oleh Kerajaan Majapahit yang berkehendak untuk menaklukkan kerajaan di Bali.
Adapun kerajaan Majapahit waktu itu dipimpin oleh Raja Tri Bhuwana Tungga Dewi, dengan patihnya yang paling terkenal dengan terkenal dengan Sumpah Palapanya (sumpah untuk tidak menikmati kenikmatan dunia bila seluruh wilayah nusantara belum dipersatukan di bawah panji Majapahit) yang bernama Gajah Mada.
Karena kehebatannya, Kebo Iwa dapat menahan serbuan pasukan Majapahit yang hendak menaklukkan Bali. Semua kapal-kapal perang Majapahit ditenggelamkan selagi berada di Selat Bali.
Maha Patih Majapahit pun mengatur siasat. Dalam siasat yang diatur, Gajah Mada memberikan pujian kepada Baginda Sri Astasura Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa tanpa menimbulkan kecurigaan. Lantas, Raja Majapahit membujuk Patih kebo Iwa untuk melakukan perjalanan ke Majapahit guna menikahi wanita terhormat nan jelita pilihan raja yang berasal dari Lemah Tulis.
Menanggapi tawaran dari Majapahit, Patih Kebo Iwa yang setia terhadap rajanya, memohon petunjuk dan persetujuan dari baginda Sri Astasura Bumi Banten. Sang Raja menyetujuinya tanpa rasa curiga.Sebelum pergi ke Majapahit, Patih Kebo Iwa terlebih dahulu melakukan upacara keagamaan di Pura Uluwatu, untuk meminta kekuatan dari Sang Hyang Rudra. Dan Sang Hyang Rudra memenuhi permintaan Kebo Iwa, mengakibatkan meningkatnya kekuatan dan kesaktian menjadi sangat luar biasa.
Kedatangan Patih Kebo Iwa ke tanah Majapahit menyebabkan para tentara, baik yang belum pernah melihatnya maupun yang pernah takluk atas kekuatannya, menjadi terperangah, kagum, bercampur rasa ngeri dan waspada, Tentara Majapahit, menampakkan ekspresi terkejut dan cemas. Arah pandang mereka terpusat ke satu tujuan yang sama. Beberapa diantara mereka nampak sedang berbisik pelan dengan teman yang berada di sebelahnya; “Lihatlah ukuran tubuhnya! Luar biasa ! Mengerikan !”.
Patih Gajah Mada menyambut kedatangan Patih Kebo Iwa: “Salam, Patih yang tangguh ! Selamat datang di Kerajaan Majapahit” Patih Kebo Iwa yang menimpali salam dari Patih Gajah Mada. Kebo Iwa : “Terima Kasih Patih, kiranya anda bersedia untuk langsung menjelaskan maksud dari Baginda Tri Bhuwana Tungga Dewi yang meminta saya untuk datang ke Majapahit.
Gajah Mada : “Seperti yang telah dikabarkan sebelumnya, Patih kebo Iwa, baginda Raja mengharapkan kedatangan patih guna menjalin suatu tali persahabatan dengan Kerajaan Bedahulu di Bali dan juga berharap agar patih bersedia menemui wanita terhormat pilihan baginda yang dirasa pantas untuk mendampingi seorang patih yang tangguh seperti anda”.
Gajah Mada menarik nafas panjang kemudian melanjutkan kata-katanya: “Akan tetapi sebelumnya, akan sangat berati apabila Patih kerajaan. Kebo Iwa berkenan membuat sumur air di sana yang nantinya akan dipersembahkan untuk wanita calon pendamping anda. Lebih lagi, sumur itu nantinya juga akan dimanfaatkan oleh rakyat kerajaan Majapahit yang saat ini sedang kekurangan air. Kiranya patih berkenan mengabulkan permohonan ini.
Patih Kebo Iwa memiliki jiwa besar dan lurus hatinya, akhirnya diapun meluluskan permintaan tersebut.Nampak Patih Kebo Iwa yang sedang mempertimbangkan permintaan tersebut. Kemudian memutuskan untuk memenuhi permintaan tersebut. Kebo Iwa (berpikir sejenak) kemudian dia berkata: “Baiklah, biarlah kekuatanku ini kupergunakan untuk sesuatu yang menghadirkan berkat bagi orang banyak”.
Tanpa banyak cakap lagi, Patih Kebo Iwa segera melakukan aktivitasnya untuk menciptakan sebuah sumur air. Sebelum memulai pekerjaannya, tidak lupa Patih Kebo Iwa meminta pedoman dari Sang Hyang Widi. Kebo Iwa : (dalam hati) Ya yang Kuasa, segala yang akan saya lakukan semoga menggambarkan kebesaran namaMu.Kebo Iwa mulai menggali sumur di tempat yang telah ditunjuk.
Dalam waktu yang cukup singkat, sumur telah tergali cukup dalam. Namun belum ada mata air yang keluar. Di atas lubang sumur yang digali oleh Patih Kebo Iwa, para prajurit Majapahit terlihat berkerumun, nampak mereka memusatkan pehatian pada Patih Gajah Mada. Seakan mereka menantikan sesuatu perintah…Tiba-tiba Gajah Mada berteriak: “Timbun dia dengan batu………!!!!” Seketika itu juga, para prajurit menimbun kembali lubang sumur yang sedang dibuat, dengan Patih Kebo Iwa berada di dalamnya.

Para prajurit menimbun lubang sumur dengan batu hasil galian itu sendiri, nampak Kebo Iwa sangat terkejut dan berusaha menahan jatuhnya batu. Dalam waktu yang singkat, lubang sumur itupun tertutup rapat. Mengubur
seorang pahlawan besar didalamnya. Patih Gajah Mada yang berbicara kepada para parjuritnya.Gajah Mada : “Sungguh amat disayangkan seorang pahlawan besar seperti dia harus mengalami ini. Namun, hal ini terpaksa harus dilakukan, agar nusantara ini dapat dipersatukan. Dengan ini kerajaan Bali akan menjadi bagian dari Majapahit”.
Tiba-tiba timbunan batu melesat ke segala penjuru, menghantam prajurit Majapahit. Terdengar teriakan membahana dari dalam sumur. Kebo Iwa : (berteriak) “Belum ! Bali masih tetap merdeka, karena nafasku masih berhembus !!. Batu-batu yang ditimbunkan melesat kembali keangkasa dibarengi dengan teriakan prajurit Majapahit yang terhempas batu. Dari dalam sumur, keluarlah Patih Kebo Iwa, yang ternyata masih terlalu kuat untuk dikalahkan.
Patih Gajah Mada terkejut, menyaksikan Patih Kebo Iwa yang masih perkasa, dan beranjak keluar dari lubang sumur. Kebo Iwa : “Dan pembalasan adalah apa yang kutuntut dari sebuah pengkhianatan !” Patih Kebo Iwa menyerang Patih Gajah Mada kemarahan dan dendam mewarnai pertempuran. Akibat amarah dan dendam yang dirasakan oleh Patih Kebo Iwa, pertempuran berlangsung sengit selama beberapa waktu.
Disela-sela saling serang Gajah Mada berteriak:”Untuk memersatukan dan memperkuat nusantara, segenap kerajaan hendaklah dipersatukan terlebih dahulu. Dan kau berdiri di garis yang salah sebagai seorang penghalang !”.

Kesaktian Patih Kebo Iwa, sungguh menyulitkan usaha Patih Gajah Mada untuk menundukkannya. Pertempuran antara keduanya masih berlangsung hebat, namun amarah dan dendam Patih Kebo Iwa mulai menyurut…Dan rupanya Patih Kebo Iwa tengah bertempur seraya berpikir … Dan apa yang tengah dipikirkan
olehnya, membuat dia harus membuat keputusan yang sulit… Kebo Iwa : (dalam hati) Kerajaan Bali pada akhirnya akan dapat ditaklukkan oleh usaha yang kuat dari orang ini, keinginannya untuk mempersatukan nusantara agar menjadi kuat kiranya dapat aku mengerti kini.
Namun apabila, aku menyetujui niatnya dan ragaku masih hidup, apa yang akan aku katakan nantinya pada Baginda Raja sebagai sangkalan atas sebuah prasangka pengkhianatan ? Masih dalam keadaan bertempur, secara sengaja Patih Kebo Iwa melontarkan pernyataan yang intinya mengenai hal untuk mengalahkan kesaktiannya.
Kebo Iwa : “Wahai Patih Gajah Mada ! Cita-citamu untuk membuat nusantara menjadi satu dan kuat kiranya dapat aku mengerti, namun selama ragaku tetap hidup sebagai abdi rajaku, aku akan menjadi penghalangmu. Maka, taklukkan aku, hilangkan kesaktianku dengan menyiramkan bubuk kapur ke tubuhku.
Pernyataan Patih Kebo Iwa rupanya membuat terkesiap Patih Gajah Mada. Patih Gajah Mada menunjukkan reaksi keheranan yang amat sangat atas perkataan Patih Kebo Iwa.
Gajah Mada yang mengerti atas keinginan Kebo Iwa, nampak menghantamkan jurusnya ke batu kapur, batu itupun luluh lantakmenjadi serpihan bubuk.
Patih Gajah Mada menyapukan bubuk tersebut ke arah Patih Kebo Iwa dengan ilmunya, bubuk kapur menyelimuti tubuh sang patih Nampak Patih Kebo Iwa, sesak napasnya oleh karena bubuk kapur tersebut.
Kiranya bubuk kapur tersebut membuat olah pernapasan Patih Kebo Iwa menjadi terganggu, hal tersebut mengakibatkan kesaktian tubuh Patih Kebo Iwa menjadi lenyap.Patih Gajah Mada melesat ke arah Patih Kebo Iwa,menusukkan kerisnya ke tubuh Kebo Iwa.
Dan sebelum kepergiannya, dengan sisa tenaga yang ada Patih Kebo Iwa mengutarakan apa yang ingin dikatakan untuk terakhir kali. Patih Kebo Iwa : “Kiranya kematianku tidak sia-sia adanya…biarlah nusantara yang kuat bersatu hasil yang pantas atas harga hidupku”.
Patih Gajah Mada dengan raut muka sedih, memberikan jawaban atas perkataan Patih Kebo Iwa. Gajah Mada : “Kepergianmu sebagai tokoh besar akan terkenang dalam sejarah… Sejarah suatu nusantara yang satu dan kuat”.
Tak lama setelah mendengar pernyataan tersebut, napas terakhirpun pergilah sudah, meninggalkan raga seorang patih tertangguh dalam sejarah Bali… dan pertiwi pun meredup melepas kepergian salah satu putra terbaiknya.
Dengan meninggalnya Kebo Iwa, Bali pun dapat ditaklukkan Majapahit. Berakhirlah riwayat orang besar yang berjasa pada Pulau Bali.

SEJARAH KEN DEDES

Arca Prajnaparamita yang anggun ditemukan dekat candi Singhasari dipercaya sebagai arca perwujudan Ken Dedes (koleksi Museum Nasional Indonesia).
Ken Dedes adalah nama permaisuri dari Ken Arok pendiri Kerajaan Tumapel (Singhasari). Ia kemudian dianggap sebagai leluhur raja-raja yang berkuasa di Jawa, nenek moyang wangsa Rajasa, trah yang berkuasa di Singhasari dan Majapahit. Tradisi lokal menyebutkan ia sebagai perempuan yang memiliki kecantikan luar biasa, perwujudan kecantikan yang sempurna.
Perkawinan Pertama
Menurut Pararaton, Ken Dedes adalah putri dari Mpu Purwa, seorang pendeta Buddha dari desa Panawijen. Pada suatu hari Tunggul Ametung akuwu Tumapel singgah di rumahnya. Tunggul Ametung jatuh hati padanya dan segera mempersunting gadis itu. Karena saat itu ayahnya sedang berada di hutan, Ken Dedes meminta Tunggul Ametung supaya sabar menunggu. Namun Tunggul Ametung tidak kuasa menahan diri. Ken Dedes pun dibawanya pulang dengan paksa ke Tumapel untuk dinikahi.
Ketika Mpu Purwa pulang ke rumah, ia marah mendapati putrinya telah diculik. Ia pun mengutuk barangsiapa yang telah menculik putrinya, maka ia akan mati akibat kecantikan Ken Dedes.
Perkawinan Kedua
Tunggul Ametung memiliki pengawal kepercayaan bernama Ken Arok. Pada suatu hari Tunggul Ametung dan Ken Dedes pergi bertamasya ke Hutan Baboji. Ketika turun dari kereta, kain Ken Dedes tersingkap sehingga auratnya yang bersinar terlihat oleh Ken Arok.
Ken Arok menyampaikan hal itu kepada gurunya, yang bernama Lohgawe, seorang pendeta dari India. Menurut Lohgawe, wanita dengan ciri-ciri seperti itu disebut sebagai wanita nareswari yang diramalkan akan menurunkan raja-raja. Mendengar ramalan tersebut, Ken Arok semakin berhasrat untuk menyingkirkan Tunggul Ametung dan menikahi Ken Dedes.
Maka, dengan menggunakan keris buatan Mpu Gandring, Ken Arok berhasil membunuh Tunggul Ametung sewaktu tidur. Yang dijadikan kambing hitam adalah rekan kerjanya, sesama pengawal bernama Kebo Hijo. Ken Arok kemudian menikahi Ken Dedes, bahkan menjadi akuwu baru di Tumapel. Ken Dedes sendiri saat itu sedang dalam keadaan mengandung anak Tunggul Ametung.
Keturunan Ken Dedes
Lebih lanjut Pararaton menceritakan keberhasilan Ken Arok menggulingkan Kertajaya raja Kadiri tahun 1222, dan memerdekakan Tumapel menjadi sebuah kerajaan baru. Dari perkawinannya dengan Ken Arok, lahir beberapa orang anak yaitu, Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu. Sedangkan dari perkawinan pertama dengan Tunggul Ametung, Ken Dedes dikaruniai seorang putra bernama Anusapati.
Seiring berjalannya waktu, Anusapati merasa dianaktirikan oleh Ken Arok. Setelah mendesak ibunya, akhirnya ia tahu kalau dirinya bukan anak kandung Ken Arok. Bahkan, Anusapati juga diberi tahu kalau ayah kandungnya telah mati dibunuh Ken Arok.
Maka, dengan menggunakan tangan pembantunya, Anusapati membalas dendam dengan membunuh Ken Arok pada tahun 1247.
Keistimewaan Ken Dedes
Tokoh Ken Dedes hanya terdapat dalam naskah Pararaton yang ditulis ratusan tahun sesudah zaman Tumapel dan Majapahit, sehingga kebenarannya cukup diragukan. Namanya sama sekali tidak terdapat dalam Nagarakretagama atau prasasti apa pun. Mungkin pengarang Pararaton ingin menciptakan sosok leluhur Majapahit yang istimewa, yaitu seorang wanita yang bersinar auratnya.
Keistimewaan merupakan syarat mutlak yang didambakan masyarakat Jawa dalam diri seorang pemimpin atau leluhurnya. Masyarakat Jawa percaya kalau raja adalah pilihan Tuhan. Ken Dedes sendiri merupakan leluhur raja-raja Majapahit versi Pararaton. Maka, ia pun dikisahkan sejak awal sudah memiliki tanda-tanda sebagai wanita nareswari. Selain itu dikatakan pula kalau ia sebagai seorang penganut Buddha yang telah menguasai ilmu karma amamadang, atau cara untuk lepas dari samsara.
Dalam kisah kematian Ken Arok dapat ditarik kesimpulan kalau Ken Dedes merupakan saksi mata pembunuhan Tunggul Ametung. Anehnya, ia justru rela dinikahi oleh pembunuh suaminya itu. Hal ini membuktikan kalau antara Ken Dedes dan Ken Arok sesungguhnya saling mencintai, sehingga ia pun mendukung rencana pembunuhan Tunggul Ametung. Perlu diingat pula kalau perkawinan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan.

Rabu, 03 Agustus 2011

TUNGGUL SABDO JATI DOYO AMONG ROGO ( SEMAR ) 1610

SEMAR. Jangan diartikan sebutan Dahyang karena berdasarkan kamus Bahasa Jawa arti dari Dahyang adalah : makhluk halus / maya, sedangkan Bhatara Ismaya / Semar tidaklah selamanya makhluk halus, karena didalam sejarah Nusantara / Indonesia beliau sering menjelma dan menjelma lagi dalam waktu yang tidak lama lagi, karena beliau Pamong Ksatria Nusantara yang bisa menciptakan situasi, Tata Tentram Kitha Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi di Nusantara ini.
Penjelmaan SEMAR di Nusantara berubah-ubah sesuai jamannya seperti :
Jaman Kerajaan Singosari I (Rejeng) sekitar gunung Bromo, beliau bernama Kyai Tuki Buda Manang, Munung
Jaman Kediri, beliau bernama Kyai Bancak
Jaman Majapahit beliau bernama Kyai Sabdopalon
Setelah kehancuran Kerajaan Majapahit, beliau menguasai Kerajaan Gaib / Lelembut, beliau bernama Kaki Tunggul Sabdo Jati Doyo Among Rogo
Untuk penjelmaan nanti, beliau kembali bernama Semar dan muncul bersamaan Pralaya Nusantara, banyak bencana di Indonesia ini dengan menelan banyak korban, kapan itu? Kita tunggu saja nanti.
Istilah Bhatara bukan berarti Raja yang mulia (Noble Lord), akan tetapi lebih mencakup penjelmaan swataara yaitu penjelmaan Dewata terutama Dewa Wisnu. Secara etimologi kata Ismaya berasal dari akar kata Iish artinya menguasai, sedangkan mayaa artinya aspek dinamis Substansi Universal. Jadi kata Ismaya mengandung arti menguasai aspek dinamis Substansi Universal. Ismaya merupakan kesadaran kosmis dinamis yang dilambangkan dalam wujud bulat Bathara Ismaya / Semar yang bergerak.
Ditinjau dari pelaksanaan Yoga, fakta metaphisis menempatkan beliau pada tataran “Avadhoot” yang mewujudkan Shakti Baglamukti sehingga terbatasinya kesadaran sarira dengan segala macam dualitas dan segala standart konvensional, yang merupakan suatu tataran / tingkatan di bidang Yoga yang dilambangkan oleh Bhatara Ismaya / Semar dalam kiprahnya / kroda dengan membalikkan sarira sehingga posisinya dari berhadapan (dualistis) menjadi searah (tunggal). Searah meniadakan dualitas / sambil “ngenthut” (ava menjadi hawa dan dhoot menjadi kentut), sehingga menjadi jelas bahwa Bhatara Ismaya merupakan aspek dinamis kosmis Hyang Tunggal disamping aspek statis kosmis Hyang Tunggal. Kalau aspek statis kosmis Hyang Tunggal dilambangkan sebagai titik pusat lingkaran, maka Bhatara Ismaya merupakan bagian luar titik sampai garis lingkaran yang bergerak.
Dari tingkatan Yoga Langka Dwipa yang terdiri tujuh tataran (Sapta Murti) maka Hyang Tunggal menempati ubun-ubun / Sahasra-Cakra, sedangkan Bhatara Ismaya menempati jambul / Soma Cakra. Dalam hirarki Yoga di India, Soma Cakra ditetapkan sebagai Cakra Rahasia karena para Yogi India hanyalah berbicara pada kualitas moral dan psikologis saja.
Bhatara Ismaya mematuhi perintah Hyang Wenang yaitu tidak akan menempatkan diri dalam visi yogi-yogi India, itulah sebabnya dalam Ramayana dan Mahabarata versi India figure Semar tidak ada.
Apa hubungannya Bhatara Ismaya dengan Hyang Manikmaya / Shiwa? Bhatara Ismaya adalah kesadaran kosmis-dinamis, maka dalam pelaksanaannya gerak dari kosmis-dinamis meliputi:
Pertumbuhan / Brih / Brahma / yang berpusat di simpul Brahma Granthi (di tengah selangkangan) yang oleh R.Ng.Ronggowarsito di bahasakan Arab dengan istilah “Baital Mukhadar”
Pemelihara / Vishi (Wisnu) yang serba meliputi dan berpusat di simpul Vishnu (hati)/ Vishnu Granthi yang di bahasakan Arab menjadi Baital Muharam
Pemulihan kembali (Shiv) / Shiva berpusat di Simpul Shiva / di mata ketiga ditengah, ditengah kening dengan kedalaman 1,5 inchi, di bahasakan arab oleh R.Ng.Ronggowarsito menjadi Bital Ma’mur

Doktrin Tri Murti bersumber pada Bhagawan Vyasa (Abiyasa), yaitu Non-Arya keturunan Bharata yang sempurna hidupnya karena beliau telah mencapai Cirajiwi / Murca / lenyap, akan tetapi tidak pernah menemui para Yogi dalam visinya Yogi India.
Sebenarnya tidaklah sulit menemui beliau dalam visi, terutama bagi mereka yang mau bersusah payah untuk mendaki puncak Gunung Sapta Arga (Gunung Semeru). Bhagawan Abiyasa adalah guru yang berfungsi sebagai pembuka Pratyaksa Vidya yaitu pengetahuan langsung tanpa Indra dan Ratio.

Kembali pada tokoh Semar, maka ada petunjuk dalam serat Raja Pati Grendala yang menyebutkan dua tokoh Nusantara / Langka Dhvipa / Salmali Dhwipa / Lemuria / Indonesia itu Bathara Semar dan Sang Hyang Wamana. Kedua nama tersebut adalah sama, karena nama dari leluhurnya Orang asli Nusantara yang merupakan Avatara ke-5 Dewa Wisnu dalam wujud manusia kerdil dari lembah Bhagawan Soma / Sala adalah leluhur / Pitri Bangsa Nusantara dan Agama Triwikrama yaitu Agama asli berkembang melalui melalui proses heriditi kurang-lebih 2 juta tahun SM.
Jadi dengan demikian terjawab sudah bahwa Semar itu adalah Cikal Bakal Bangsa Nusantara yang merupakan bibit kawitan manusia Nusantara asli yang selalu menghormati leluhur.

GUNUNG DIENG BUMI PARA DEWA

Ketika tata krama diabaikan dan kaum ningrat lupa tentang kewajibannya serta kawulo alit mulai berani menentang yang dititahkan oleh para bendaranya, sebuah bencana mulai terjadi. Kekisruhan, huru-hara serta murkanya alam akan mewarnai negeri yang selalu melupakan jati dirinya. Karena itu, manusia hendaknya selalu ingat dan waspada merenungi apa yang selama ini pernah diperbuat agar Tuhan menjauhkan azab malapetaka. Begitulah inti dari pesan yang disampaikan dalam pergelaran wayang kulit Ringgit Purwo yang mengambil lakon Semar Bangun Kahyangan. Sebuah pertunjukan yang menjadi bagian perayaan malam Satu Suro di dataran tinggi Dieng.

Dataran tinggi Dieng adalah gugusan pegunungan yang memiliki keindahan alam menakjubkan. Kawasan ini berada di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut yang memiliki sejarah panjang sejak berabad-abad lampau. Puncak dataran Dieng masuk dalam wilayah dua kabupaten, yaitu Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.

Ribuan atau mungkin jutaan tahun lampau, dataran tinggi Dieng ini terbentuk akibat amblesnya sebagian dari gunung api tua yaitu Gunung Perahu sehingga muncullah gunung-gunung baru. Tak heran, hingga kini di dataran tinggi Dieng banyak dijumpai tekanan air bawah tanah oleh magma yang memunculkan letusan letusan kecil. Berkah alam yang diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa ini memiliki unsur kimiawi yang menghasilkan tingkat kesuburan tanah yang tinggi. Tak heran, jika sebagian besar dataran tinggi Dieng dipenuhi ladang penduduk yang ditanami berbagai macam jenis� sayuran.

Bangunan-bangunan kuno juga banyak dijumpai di daerah bukit di kawasan Dieng. Bangunan kuno yang dalam bahasa Jawa kuno disebut Di Hyang yang berarti tempat bersemayam para dewa. Berdasarkan catatan sejarah kawasan ini diyakini sebagai awal peradaban agama Hindu di Pulau Jawa yang berkembang di masa kejayaan Dinasti Sanjaya sekitar Abad ke-8. Pada masa itu, candi digunakan untuk memuliakan Dewa Syiwa. Dalam perkembangannya candi-candi ini oleh masyarakat setempat diberi nama tokoh-tokoh pewayangan dalam kisah Mahabarata.

Candi adalah bangunan yang pada masa lalu menjadi pusat kepercayaan agama Syiwa, tempat bersemayam para dewa ketika turun ke bumi untuk berkomunikasi dengan para pemujanya. Konsep candi ini mengadopsi dari konsep Mehru yang dibawa oleh para pendeta Hindu dari India. Mehru atau Mere adalah Gunung Kosmis bangsa India tempat bersemayam para dewa. Sejarah peradaban besar ini bisa dilihat dari peninggalan yang tersisa.

Hari ini, adalah awal bulan Suro, yakni awal tahun baru dalam penanggalan Jawa yang bertepatan dengan Tahun Baru Islam Hijriah. Bagi sebagian masyarakat Jawa penganut aliran ilmu Kejawen meyakini bulan Suro memiliki arti yang sangat penting sama halnya dengan bulan suci yang dianut agama-agama Samawi. Di saat itulah, biasanya mereka membuat laku membersihkan diri dari segala kotoran yang menurutnya badan fisik dianggap sebagai belenggu roh atau jiwa manusia.

Pak Roesmanto, lelaki separuh baya adalah sesepuh penganut kepercayaan Tunggul Sabdo Jati Doyo Amongrogo di kawasan dataran tinggi Dieng. Sebagai penghayat, dirinya percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa atau Sang Hyang Betara Tunggal. Tapi, mereka juga percaya adanya roh-roh leluhur gaib. Karena itu, Roesmanto beserta asistennya menjalani ritual ke beberapa lokasi keramat ke gunung gunung dan gua yang diyakini tempat bersemayamnya para roh-roh gaib leluhur. Dalam ajarannya, Roesmanto meyakini adanya kehidupan setelah kematian. Roh leluhur yang banyak mendiami puncak-puncak gunung diyakini banyak membantu kemakmuran anak cucu turunannya.

Adanya roh leluhur gaib yang bersemayam di bumi Dieng dianggap memberi pengayom dan kemakmuran kepada para penghuninya. Bulan Suro, saat yang paling tepat untuk menyampaikan kabar kepada penguasa mistis perut bumi kawah sikidang yaitu eyang Pelangkah Jagad bahwa esok ruwatan bumi hendak dilakukan.

Sebagian masyarakat Jawa tak sekadar memaknai bulan Suro dengan laku membersihkan diri lahir maupun batin. Bagi yang mencintai benda-benda seni bertuah semacam keris, bulan Suro adalah saat yang paling tepat untuk dibersihkan dari kotoran agar pamor yang melekat pada keris muncul kembali. Keris dianggap sebagai Piyandel atau sebagai harapan, doa, dan kepercayaan bagi orang Jawa. Karena itu, di bulan suci Jawa itu semuanya diserahkan pada Tuhan Yang Maha Esa. Keris maupun pemiliknya harus dibersihkan mengingat keris adalah cerminan diri bagi pemiliknya.

Inilah puncak ritual di malam satu Suro. Sebuah tembang Mocopat Dandang Gulo Sabdo Utomo ciptaan Prabu Sri Aji Joyoboyo dilantunkan sebagai pembuka acara malam Suro. Tembang ini mengingatkan agar manusia selalu eling dan waspada. Kekeliruan tingkah laku bisa menimbulkan alam murka, huru-hara, dan kekisruhan akan terjadi di mana-mana.

Malam ini, guru raib roh leluhur Kaki Semar yang berjuluk Begawan Sampurno Jati, merasuk pada wadah seseorang sebagai media untuk memberi petuah kepada pengikutnya di paguyuban kebudayaan Jawa Tunggul Sabdo Jati. Kaki Semar mengingatkan, manusia supaya waspada hingga 2009. Kekisruhan akan melanda negeri ini, terutama di wilayah Jawa bagian timur. Karena itu, negeri ini perlu dibersihkan dengan cara melakukan ruwatan bumi. Memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, penguasa alam semesta supaya dijauhkan dari malapetaka.

Bibit ilmu Kejawen diperkirakan muncul semenjak berkuasanya kerajaan-kerajaan Mataram kuno. Kejayaan aliran ini mulai dirasakan ketika berdirinya kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Aliran yang semula percaya pada roh-roh nenek moyang mulai dipengaruhi oleh Hinduisme dan Budhisme yang kemudian memunculkan faham baru yaitu aliran Kejawen.

Ilmu kejawen percaya adanya reinkarnasi atau hidup setelah kematian hingga sebanyak tujuh kali. Jika selama itu manusia gagal menebus karma yang diperbuat semasa hidupnya maka Tuhan yang Maha Kuasa memberi dua kehidupan lagi dalam wujud roh-roh gaib tanpa badan kasar. Mereka bertugas menolong manusia supaya rohnya diterima di alam nirwana menyatu dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dan malam ini, bertempat di Telaga Warna Gunung Dieng, Roesmanto melarung berbagai macam sesaji sebagai ungkapan rasa syukur kepada para leluhur gaibnya. Kini malam makin larut, gending-gending pertunjukan wayang kulit dengan lakon Semar Bangun Kahyangan akhirnya menjadi pamungkas ritual ruwatan bumi kali ini.(ORS/Soedjatmoko dan Budi Sukmadianto)

Selasa, 02 Agustus 2011

Sejarah Kerajaan Negara Dipa

Negara Dipa Berdiri 1387-1495 Didahului oleh Kerajaan Kuripan Digantikan oleh Kerajaan Negara Daha Ibu kota dan Bandar Perdagangan Candi Laras (ibukota I)
Candi Agung (ibukota II)
Bandar Muara Rampiau (Bandar Perdagangan) Bahasa Banjar Klasik Agama Syiwa-Buddha
Kaharingan
Pemerintahan
-Raja pertama
-Raja terakhir Monarki
Ampu Djatmaka sejak ±1387[1]
Putri Kalungsu sampai 1495.[2]
-Didirikan
-Zaman kejayaan
-Krisis suksesi 1387
1387-1495
1495
Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan. Kerajaan ini adalah pendahulu Kerajaan Negara Daha. Kerajaan Negara Daha terbentuk karena perpindahan ibukota kerajaan dari Amuntai (ibukota Negara-Dipa di hulu) ke Muhara Hulak (di hilir). Sejak masa pemerintahan Lambung Mangkurat wilayahnya terbentang dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting.
Artefak yang ditemukan di situs Candi Laras koleksi Museum Lambung Mangkurat.
Kerajaan Negara Dipa memiliki daerah-daerah bawahan yang disebut Sakai, yang masing-masing dipimpin oleh seorang Mantri Sakai. Sebuah pemerintahan Sakai kira-kira sama dengan pemerintahan lalawangan (distrik) pada masa Kesultanan Banjar. Salah satu negeri bawahan Kuripan adalah Negara Dipa. Menurut Hikayat Banjar, Negara Dipa merupakan sebuah negeri yang didirikan Ampu Jatmika yang berasal dari Keling (Coromandel).[3] Menurut Veerbek (1889:10) Keling, propinsi Majapahit di barat daya Kediri.Menurut Paul Michel Munos dalam Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Senanjung Malaysia, hal 401 dan 435, Empu Jamatka (maksudnya Ampu Jatmika) mendirikan pada tahun 1387, dia berasal dari Majapahit. Diduga Ampu Jatmika menjabat sebagai Sakai di Negara Dipa (situs Candi Laras)(Margasari). Ampu Jatmika bukanlah keturunan bangsawan dan juga bukan keturunan raja-raja Kuripan, tetapi kemudian dia berhasil menggantikan kedudukan raja Kuripan sebagai penguasa Kerajaan Kuripan yang wilayahnya lebih luas tersebut, tetapi walau demikian Ampu Jatmika tidak menyebut dirinya sebagai raja, tetapi hanya sebagai Penjabat Raja (pemangku). Penggantinya Lambung Mangkurat (Lembu Mangkurat) setelah bertapa di sungai berhasil memperoleh Putri Junjung Buih yang kemudian dijadikan Raja Putri di Negara Dipa. Raja Putri ini sengaja dipersiapkan sebagai jodoh bagi seorang Pangeran yang sengaja dijemput dari Majapahit yaitu Raden Putra yang kelak bergelar Pangeran Suryanata I. Keturunan Lambung Mangkurat dan keturunan mereka berdua inilah yang kelak sebagai raja-raja di Negara Dipa.
Menurut Tutur Candi, Kerajaan Kahuripan adalah kerajaan yang lebih dulu berdiri sebelum Kerajaan Negara Dipa. Karena raja Kerajaan Kahuripan menyayangi Empu Jatmika sebagai anaknya sendiri maka setelah dia tua dan mangkat kemudian seluruh wilayah kerajaannya (Kahuripan) dinamakan sebagai Kerajaan Negara Dipa, yaitu nama daerah yang didiami oleh Empu Jatmika. (Fudiat Suryadikara, Geografi Dialek Bahasa Banjar Hulu, Depdikbud, 1984)
Kerajaan Negara Dipa semula beribukota di Candi Laras (Distrik Margasari) dekat hilir sungai Bahan tepatnya pada suatu anak sungai Bahan, kemudian ibukotanya pindah ke hulu sungai Bahan yaitu Candi Agung (Amuntai), kemudian Ampu Jatmika menggantikan kedudukan Raja Kuripan (negeri yang lebih tua) yang mangkat tanpa memiliki keturunan, sehingga nama Kerajaan Kuripan berubah menjadi Kerajaan Negara Dipa. Ibukota waktu itu berada di Candi Agung yang terletak di sekitar hulu sungai Bahan (= sungai Negara) yang bercabang menjadi sungai Tabalong dan sungai Balangan dan sekitar sungai Pamintangan (sungai kecil anak sungai Negara).
Kerajaan ini dikenal sebagai penghasil intan pada zamannya.
1 Raja Negara Dipa
2 Rujukan
3 Referensi
4 Pranala luar
Raja Negara Dipa
Periode Raja-raja Kuripan yang tidak diketahui nama penguasa dan masa pemerintahannya. Kerajaan Kuripan ini disebutkan dalam Hikayat Banjar Resensi II.
Ampu Jatmaka gelar Maharaja di Candi, saudagar kaya dari Keling pendiri Negara Dipa tahun 1387 dengan mendirikan negeri Candi Laras di hilir kemudian mendirikan (atau menaklukan?) negeri Candi Agung di hulu di sebalik negeri Kuripan. Ampu Jatmaka sebagai penerus ayah angkatnya raja tua Kerajaan Kuripan [= raja negeri lama yang berdiri sebelumnya] yang tidak memiliki keturunan, tetapi Ampu Jatmaka mengganggap dirinya hanya sebagai Penjabat Raja. Ketiga negeri/distrik ini dan ditambah negeri Batung Batulis dan Baparada (= Balangan) yang muncul di dalam Hikayat Banjar Resensi II teks Cense, maka inilah wilayah awal Negara Dipa. Kemudian Empu Jatmika memerintahkan Tumenggung Tatahjiwa memperluas wilayah dengan menaklukan batang Tabalong, batang Balangan dan batang Pitap. Ia jua memerintahkan Arya Megatsari menaklukan batang Alai, batang Labuan Amas dan batang Amandit. Widuga wilayah inilah yang menjadi ibukota baru Tanjungpura di negara bagian Tanjungnagara (Kalimantan-Filipina).
Lambung Mangkurat [= logat Banjar untuk Lembu Mangkurat] bergelar Ratu Kuripan, putera Ampu Jatmika (sebagai Penjabat Raja). Ia berhasil memperluas wilayah kerajaan dari Tanjung Silat/Selatn sampai Tanjung Puting yaitu wilayah dari sungai Barito sampai sungai Seruyan.
Raden Galuh Ciptasari alias Putri Ratna Janggala Kadiri gelar anumerta Putri Junjung Buih [= perwujudan putri buih/putri bunga air menurut mitos Melayu] yaitu puteri angkat Lambung Mangkurat, diduga Ratu I ini berasal dari Majapahit yang disebut Bhre Tanjungpura. Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura Manggalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa 1429-1464 adalah puteri Bhre Tumapel II 1389-1427 [= abangnya Suhita] dengan istrinya Bhre Lasem V. Bhre Tanjungpura [= Bhre Kalimantan] dan Bhre Pajang III Sureswari 1429-1450 [= adik bungsu Manggalawardhani] keduanya menjadi istri Bhre Paguhan III 1400-1440 [= ayahnya Sripura] tetapi perkawinan ini tidak memiliki keturunan (menurut Pararaton). Diduga Bhre Tanjungpura menikah lagi dengan Bhre Pamotan I Rajasawardhana Dyah Wijayakumara. Menurut Prasasti Trailokyapuri Manggalawardhani adalah Bhre Daha VI 1464-1474 yakni ibu Ranawijaya (janda Sang Sinagara).
Rahadyan Putra alias Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa gelar anumerta Maharaja Suryanata [= perwujudan raja dewa matahari], suami Putri Junjung Buih yang dilamar/didatangkan dari Majapahit dengan persembahan 10 biji intan. Raja ini berhasil menaklukan raja Sambas, raja Sukadana/Tanjungpura, orang-orang besar/penguasa Batang Lawai (= sungai Kapuas), orang besar/penguasa Kotawaringin, orang besar Pasir, raja Kutai, orang besar Berau dan raja Karasikan. Menurut Hikayat Banjar Versi II, pasangan ini memperoleh tiga putera yakni Pangeran Suryawangsa, Pangeran Suryaganggawangsa dan Pangeran Aria Dewangsa [adi-vamsa = pengasas dinasti]. Ketiga putera ini memerintah di daerah yang berlainan (a) Undan Besar dan Undan Kuning, (b) Undan Kulon dan Undan Kecil (c) Candi Laras, Candi Agung, Batung Batulis dan Baparada [= Batu Piring?] serta Kuripan. Setelah beberapa lama memerintah [pada tahun 1464?] Putri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata mengatakan hendak pulang ke tempat asalnya dan pemerintahan dilanjutkan oleh putera-puteranya. Nama Rajasa yang digunakan raja ini kemungkinan kependekan dari Rajasawardhana alias Dyah Wijayakumara alias Sang Sinagara, yaitu putera sulung Bhre Tumapel III Dyah Kertawijaya 1429-1447. Dyah Wijayakumara [= Bhre Kahuripan VI] memiliki istri bernama Manggalawardhani Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir empat orang anak, yaitu Samarawijaya [= Bhre Kahuripan VII], Wijayakarana, [= Bhre Mataram V], Wijayakusuma (= Bhre Pamotan II), dan Ranawijaya (= Bhre Kertabhumi= Kartapura?= Tanjungpura?).
Aria Dewangsa putera bungsu Putri Junjung Buih dengan Maharaja Suryanata (Hikayat Banjar versi II), menikahi Putri Mandusari alias Putri Huripan [yang ibunya meninggal ketika melahirkannya] gelar Putri Kabu Waringin [karena minum air susu kerbau putih yang diikat di pohon beringin] yaitu puteri dari Lambung Mangkurat (= Ratu Kuripan) dengan Dayang Diparaja.
Raden Sekar Sungsang, cucu Putri Junjung Buih dan juga cucu Lambung Mangkurat adalah putera dari pasangan Pangeran Aria Dewangsa dengan Putri Kabu Waringin menurut Hikayat Banjar versi II, tetapi menurut Hikayat Banjar versi I adalah cicit Putri Junjung Buih dan juga cicit Lambung Mangkurat. Menurut versi II, Raden Sekar Sungsang [= Panji Agung Rama Nata] pernah merantau ke Jawa [dan diduga sudah memeluk Islam] dan di Jawa ia mengawini wanita setempat dan memperoleh dua putera bernama Raden Panji Dekar dan Raden Panji Sekar [yang kemudian bergelar Sunan Serabut karena menikahi puteri Raja Giri]. Sunan Serabut dari Giri inilah yang menuntut upeti kepada Putri Ratna Sari gelar Ratu Lamak (puteri dari Raden Sekar Sungsang dengan Putri Ratna Minasih yang menggantikannya sebagai raja). Ratu Lamak kemudian digantikan adiknya Ratu Anom yang pernah ditawan ke Jawa karena gagal membayar upeti.
Menurut Hikayat Banjar versi I, ibu Raden Sekar Sungsang yaitu Putri Kalungsu alias Putri Kabu Waringin, permaisuri Maharaja Carang Lalean (= Aria Dewangga?) sempat menjadi wali raja ketika Raden Sakar Sungsang masih berumur enam tahun sewaktu Maharaja Carang Lalean (= Raden Aria Dewangsa?) mengatakan bahwa ia hendak pulang ke tempat asalnya (dan jika raja ini putera Manggalawardhani maka kemungkinan kepulangannya ke tempat asal/Majapahit untuk membantu kakaknya Samarawijaya berperang melawan pamannya Raja Majapahit?). Maharaja Carang Lalean kemudian melantik Lambung Mangkurat sebagai pemangku.
Pada masa Maharaja Sari Kaburungan alias Raden Sekar Sungsang, putera dari Putri Kabu Waringin alias Putri Kalungsu, untuk menghindari bala bencana ibukota kerajaan dipindahkan dari Candi Agung (Amuntai) karena dianggap sudah kehilangan tuahnya, pusat pemerintahan dipindah ke arah hilir pada percabangan anak sungai Bahan yaitu Muara Hulak yang kemudian diganti menjadi Negara Daha (sekarang kecamatan Daha Selatan) sehingga kerajaan disebut dengan nama yang baru sesuai letak ibukotanya ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha. Nama sungai Bahan pun berganti menjadi sungai Negara.

SEJARAH KERAJAAN DAHA

Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Selatan diperkirakan dimulai ketika berdiri Kerajaan Tanjung Puri sekitar abad 5-6 Masehi. Kerajaan ini letaknya cukup strategis yaitu di Kaki Pegunungan Meratus dan di tepi sungai besar sehingga di kemudian hari menjadi bandar yang cukup maju. Kerajaan Tanjung Puri bisa juga disebut Kerajaan Kahuripan, yang cukup dikenal sebagai wadah pertama hibridasi, yaitu percampuran antarsuku dengan segala komponennya. Setelah itu berdiri kerajaan Negara Dipa yang dibangun perantau dari Jawa.
Pada abad ke 14 muncul Kerajaan Negara Daha yang memiliki unsur-unsur Kebudayaan Jawa akibat pendangkalan sungai di wilayah Negara Dipa. Sebuah serangan dari Jawa menghancurkan Kerajaan Dipa ini. Untuk menyelamatkan, dinasti baru pimpinan Maharaja Sari Kaburangan segera naik tahta dan memindahkan pusat pemerintahan ke arah hilir, yaitu ke arah laut di Muhara Rampiau. Negara Dipa terhindar dari kehancuran total, bahkan dapat menata diri menjadi besar dengan nama Negara Daha dengan raja sebagai pemimpin utama. Negara Daha pada akhirnya mengalami kemunduran dengan munculnya perebutan kekuasaan yang berlangsung sejak Pangeran Samudra mengangkat senjata dari arah muara, selain juga mendirikan rumah bagi para patih yang berada di muara tersebut.
Pemimpin utama para patih bernama MASIH. Sementara tempat tinggal para MASIH dinamakan BANDARMASIH. Raden Samudra mendirikan istana di tepi sungai Kuwin untuk para patih MASIH tersebut. Kota ini kelak dinamakan BANJARMASIN, yaitu yang berasal dari kata BANDARMASIH.
Kerajaan Banjarmasin berkembang menjadi kerajaan maritim utama sampai akhir abad 18. Sejarah berubah ketika Belanda menghancurkan keraton Banjar tahun 1612 oleh para raja Banjarmasin saat itu panembahan Marhum, pusat kerajaan dipindah ke Kayu Tangi, yang sekarang dikenal dengan kota Martapura.
Awal abad 19, Inggris mulai melirik Kalimantan setelah mengusir Belanda tahun 1809. Dua tahun kemudian menempatkan residen untuk Banjarmasin yaitu Alexander Hare. Namun kekuasaanya tidak lama, karena Belanda kembali.
Babak baru sejarah Kalimantan Selatan dimulai dengan bangkitnya rakyat melawan Belanda. Pangeran Antasari tampil sebagai pemimpin rakyat yang gagah berani. Ia wafat pada 11 Oktober 1862, kemudian anak cucunya membentuk PEGUSTIAN sebagai lanjutan Kerajaan Banjarmasin, yang akhirnya dihapuskan tentara Belanda Melayu Marsose, sedangkan Sultan Muhammad Seman yang menjadi pemimpinnya gugur dalam pertempuran. Sejak itu Kalimantan Selatan dikuasai sepenuhnya oleh Belanda.
Daerah ini dibagi menjadi sejumlah afdeling, yaitu Banjarmasin, Amuntai dan Martapura. Selanjutnya berdasarkan pembagian organik dari Indisch Staatsblad tahun 1913, Kalimantan Selatan dibagi menjadi dua afdeling, yaitu Banjarmasin dan Hulu Sungai. Tahun 1938 juga dibentuk Gouverment Borneo dengan ibukota Banjarmasin dan Gubernur Pertama dr. Haga.
Setelah Indonesia merdeka, Kalimantan dijadikan propinsi tersendiri dengan Gubernur Ir. Pangeran Muhammad Noor. Sejarah pemerintahan di Kalimanatn Selatan juga diwarnai dengan terbentuknya organisasi Angkatan Laut Republik Indonesia ( ALRI ) Divisi IV di Mojokerto, Jawa Timur yang mempersatukan kekuatan dan pejuang asal Kalimantan yang berada di Jawa.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati menyebabkan Kalimantan terpisah dari Republik Indonesia. Dalam keadaan ini pemimpin ALRI IV mengambil langkah untuk kedaulatan Kalimantan sebagai bagian wilayah Indonesia, melalui suatu proklamasi yang ditandatangani oleh Gubernur ALRI Hasan Basry di Kandangan 17 Mei 1949 yang isinya menyatakan bahwa rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan memaklumkan berdirinya pemerintahan Gubernur tentara ALRI yang melingkupi seluruh wilayah Kalimantan Selatan. Wilayah itu dinyatakan sebagai bagian dari wilayah RI sesuai Proklamasi kemerdekaaan 17 agustus 1945. Upaya yang dilakukan dianggap sebagai upaya tandingan atas dibentuknya Dewan Banjar oleh Belanda.
Menyusul kembalinya Indonesia ke bentuk negara kesatuan kehidupan pemerintahan di daerah juga mengalamai penataaan. Di wilayah Kalimantan, penataan antara lain berupa pemecahan daerah Kalimantan menjadi 3 propinsi masing-masing Kalimantan Barat, Timur dan Selatan yang dituangkan dalam UU No.25 Tahun 1956.
Berdasarkan UU No.21 Tahun 1957, sebagian besar daerah sebelah barat dan utara wilayah Kalimantan Selatan dijadikan Propinsi Kalimantan Tengah. Sedangkan UU No.27 Tahun 1959 memisahkan bagian utara dari daerah Kabupaten Kotabaru dan memasukkan wilayah itu ke dalam kekuasaan Propinsi Kalimantan Timur. Sejak saat itu Propinsi Kalimantan Selatan tidak lagi mengalami perubahan wilayah, dan tetap seperti adanya. Adapun UU No.25 Tahun 1956 yang merupakan dasar pembentukan Propinsi Kalimantan Selatan kemudian diperbaharui dengan UU No.10 Tahun 1957 dan UU No.27 Tahun 1959.

Kerajaan Negara Daha
Kerajaan Negara Daha adalah sebuah kerajaan Hindu (Syiwa-Buddha)yang pernah berdiri di Kalimantan Selatan kira-kira sejaman dengan kerajaan Islam Giri Kedaton. Pusat pemerintahan/ibukota kerajaan ini berada di Muhara Hulak/kota Negara (kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan), sedangkan bandar perdagangan dipindahkan dari pelabuhan lama Muhara Rampiau (sekarang Marampiau) ke pelabuhan baru pada Bandar Muara Bahan (sekarang kota Marabahan, Barito Kuala).
Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan dari Kerajaan Negara Dipa yang saat itu berkedudukan di Kuripan/Candi Agung, (sekarang kota Amuntai, Hulu Sungai Utara). Pemindahan ibukota dari Kuripan adalah untuk menghindari bala bencana karena dianggap sudah kehilangan tuahnya. Pusat pemerintahan dipindah ke arah hilir sungai Negara (sungai Bahan) menyebabkan nama kerajaan juga berubah sehingga disebut dengan nama yang baru sesuai letak ibukotanya yang ketiga ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha.
Raja Negara Daha
Maharaja Sari Kaburangan/Raden Sakar Sungsang/Panji Agung Rama Nata/Ki Mas Lalana putera Putri Kalungsu, ratu terakhir Negara Dipa
Maharaja Sukarama/Raden Paksa, kakek dari Sultan Suriansyah (Sultan Banjar I)
Maharaja Pangeran Mangkubumi
Maharaja Pangeran Tumenggung/Raden Panjang
Wilayah pengaruh kerajaan ini meliputi propinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura, sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Kerajaan Kutai Kartanegara.
Islam datang ke daerah ini dari Giri diperkirakan di masa Maharaja Sari Kaburangan (Raden Sekar Sungsang) yang pernah merantau ke pulau Jawa dan disana telah memiliki anak bernama Raden Panji Sekar yang menikahi putri dari Sunan Giri kemudian bergelar Sunan Serabut. Tetapi Islam baru menjadi agama negara pada tahun 1526 di masa kekuasaan Pangeran Samudera (Sultan Suriansyah). Aksara Arab-Melayu telah digunakan sebelum berdirinya Kesultanan Banjar.
Karena kemelut di Kuripan/Negara Dipa, beberapa tumenggung melarikan diri ke negeri Paser di perbatasan Kerajaan Kutai Kartanegara dan kemudian mendirikan Kerajaan Sadurangas di daerah tersebut.

Jumat, 29 Juli 2011

SEJARAH PUNA KAWAN

“Puna” atau “pana” dalam terminologi Jawa artinya memahami, terang, jelas, cermat, mengerti, cerdik dalam mencermati atau mengamati makna hakekat di balik kejadian-peristiwa alam dan kejadian dalam kehidupan manusia. Sedangkan kawan berarti pula pamong atau teman. Jadi punakawan mempunyai makna yang menggambarkan seseorang yang menjadi teman, yang mempunyai kemampuan mencermati, menganalisa, dan mencerna segala fenomena dan kejadian alam serta peristiwa dalam kehidupan manusia.
Punakawan dapat pula diartikan seorang pengasuh, pembimbing yang memiliki kecerdasan fikir, ketajaman batin, kecerdikan akal-budi, wawasannya luas, sikapnya bijaksana, dan arif dalam segala ilmu pengetahuan. Ucapannya dapat dipercaya, antara perkataan dan tindakannya sama, tidaklah bertentangan. Khasanah budaya Jawa menyebutnya sebagai “tanggap ing sasmita, lan limpat pasang ing grahita”. Dalam istilah pewayangan terdapat makna sinonim dengan apa yang disebut wulucumbu yakni rambut yang tumbuh pada jempol kaki. Keseluruhan gambaran karakter pribadi Ki Lurah Semar tersebut berguna dalam upaya melestarikan alam semesta, dan menciptakan kemakmuran serta kesejahteraan di bumi pertiwi.
Dalam cerita pewayangan Jawa, punakawan tersebut dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing memiliki peranan yang sama sebagai penasehat spiritual dan politik, namun masing-masing mengasuh tokoh yang karakternya saling kontradiksi.
Kelompok Ki Lurah Semar Badranaya
Kelompok ini terdiri Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (Sunda: Cepot). Mereka menggambarkan kelompok punakawan yang jujur, sederhana, tulus, berbuat sesuatu tanpa pamrih, tetapi memiliki pengetahuan yang sangat luas, cerdik, dan mata batinnya sangat tajam. Ki Lurah Semar, khususnya, memiliki hati yang “nyegoro” atau seluas samudra serta kewaskitaan dan kapramanan-nya sedalam samudra. Hanya satria sejati yang akan menjadi asuhan Ki Lurah Semar. Semar hakekatnya sebagai manusia setengah dewa, yang bertugas mengemban/momong para kesatria sejati.
Ki Lurah Semar disebut pula Begawan Ismaya atau Hyang Ismaya, karena eksistensinya yang teramat misterius sebagai putra Sang Hyang Tunggal umpama dewa mangejawantah. Sedangkan julukan Ismaya artinya tidak wujud secara wadag/fisik, tetapi yang ada dalam keadaan samar/semar. Dalam uthak-athik-gathuk secara Jawa, Ki Semar dapat diartikan guru sejati (sukma sejati), yang ada dalam jati diri kita. Guru sejati merupakan hakekat Zat tertinggi yang terdapat dalam badan kita. Maka bukanlah hal yang muskil bila hakekat guru sejati yang disimbolkan dalam wujud Ki Lurah Semar, memiliki kemampuan sabda pendita ratu, ludahnya adalah ludah api (idu geni). Apa yang diucap guru sejati menjadi sangat bertuah, karena ucapannya adalah kehendak Tuhan. Para kesatria yang diasuh oleh Ki Lurah Semar sangat beruntung karena negaranya akan menjadi adil makmur, gamah ripah, murah sandang pangan, tenteram, selalu terhindar dari musibah.
Tugas punakawan dimulai sejak kepemimpinan Prabu Herjuna Sasrabahu di negeri Maespati, Prabu Ramawijaya di negeri Pancawati, Raden Sakutrem satria Plasajenar, Raden Arjuna Wiwaha satria dari Madukara, Raden Abimanyu satria dari Plangkawati, dan Prabu Parikesit di negeri Ngastina. Ki Lurah Semar selalu dituakan dan dipanggil sebagai kakang, karena dituakan dalam arti kiasan yakni ilmu spiritualnya sangat tinggi, sakti mandraguna, berpengalaman luas dalam menghadapi pahit getirnya kehidupan. Bahkan para Dewa pun memanggilnya dengan sebutan “kakang”.
Kelompok punakawan ini bertugas :

1. Menemani (mengabdi) para bendhara (bos) nya yang memiliki karakter luhur budi pekertinya. Tugas punakawan adalah sebagai “pembantu” atau abdi sekaligus “pembimbing”. Tugasnya berlangsung dari masa ke masa.
2. Dalam cerita pewayangan, kelompok ini lebih sebagai penasehat spiritual, pamomong, kadang berperan pula sebagai teman bercengkerama, penghibur di kala susah.
3. Dalam percengkeramaannya yang bergaya guyon parikena atau saran, usulan dan kritikan melalui cara-cara yang halus, dikemas dalam bentuk kejenakaan kata dan kalimat. Namun di dalamnya selalu terkandung makna yang tersirat berbagai saran dan usulan, dan sebagai pepeling akan sikap selalu eling dan waspadha yang harus dijalankan secara teguh oleh bendharanya yang jumeneng sebagai kesatria besar.
4. Pada kesempatan tertentu punakawan dapat berperan sebagai penghibur selagi sang bendhara mengalami kesedihan.
5. Pada intinya, Ki Lurah Semar dkk bertugas untuk mengajak para kesatria asuhannya untuk selalu melakukan kebaikan atau kareping rahsa (nafsu al mutmainah). Dalam terminologi Islam barangkali sepadan dengan istilah amr ma’ruf.
Adapun watak kesatria adalah: halus, luhur budi pekerti, sabar, tulus, gemar menolong, siaga dan waspada, serta bijaksana.
Kelompok Ki Lurah Togog
Kelompok ini terdiri tiga personil yakni: Ki Lurah Togog (Sarawita) dan Mbilung. Punakawan ini bertugas menemani bendhara-nya yang berkarakter dur angkara yakni para Ratu Sabrang. Sebut saja misalnya Prabu Baladewa di negeri Mandura, Prabu Basukarna di negeri Ngawangga, Prabu Dasamuka (Rahwana) di negeri Ngalengka, Prabu Niwatakawaca di negeri Iman-Imantaka dan beberapa kesatria dari negara Sabrangan yang berujud (berkarakter) raksasa; pemarah, bodoh, namun setia dalam prinsip. Lurah Togog disebut pula Lurah Tejamantri. Ki Togog dkk secara garis besar bertugas mencegah asuhannya yang dur angkara, untuk selalu eling dan waspadha, meninggalkan segala sifat buruk, dan semua nafsu negatif. Beberapa tugas mereka antara lain:
1. Mereka bersuara lantang untuk selalu memberikan koreksi, kritikan dan saran secara kontinyu kepada bendhara-nya.
2. Memberikan pepeling kepada bendhara-nya agar selalu eling dan waspadha jangan menuruti kehendak nafsu jasadnya (rahsaning karep).
Gambaran tersebut sesungguhnya memproyeksikan pula karakter dalam diri manusia (jagad alit). Sebagaimana digambarkan bahwa kedua kesatria di atas memiliki karakter yang berbeda dan saling kontradiktori. Maknanya, dalam jagad kecil (jati diri manusia) terdapat dua sifat yang melekat, yakni di satu sisi sifat-sifat kebaikan yang memancar dari dalam cahyo sejati (nurulah) merasuk ke dalam sukma sejati (ruhulah). Dan di sisi lain terdapat sifat-sifat buruk yang berada di dalam jasad atau ragawi. Kesatria yang berkarakter baik diwakili oleh kelompok Pendawa Lima beserta para leluhurnya. Sedangkan kesatria yang berkarakter buruk diwakili oleh kelompok Kurawa 100. walaupun keduanya masing-masing sudah memiliki penasehat punakawan, namun tetap saja terjadi peperangan di antara dua kelompok kesatria tersebut. Hal itu menggambarkan betapa berat pergolakan yang terjadi dalam jagad alit manusia, antara nafsu negatif dengan nafsu positif. Sehingga dalam cerita pewayangan digambarkan dengan perang Brontoyudho antara kesatria momongan Ki Lurah Semar dengan kesatria momongan Ki Togog. Antara Pendawa melawan Kurawa 100. Antara nafsu positif melawan nafsu negatif. Medan perang dilakukan di tengah Padhang Kurusetra, yang tidak lain menggambarkan hati manusia.
Makna di Balik Simbol Punakawan
1. Ki Lurah Semar (simbol ketentraman dan keselamatan hidup)
Membahas Semar tentunya akan panjang lebar seperti tak ada titik akhirnya. Semar sebagai simbol bapa manusia Jawa. Bahkan dalam kitab jangka Jayabaya, Semar digunakan untuk menunjuk penasehat Raja-raja di tanah Jawa yang telah hidup lebih dari 2500 tahun. Dalam hal ini Ki Lurah Semar tiada lain adalah Ki Sabdapalon dan Ki Nayagenggong, dua saudara kembar penasehat spiritual Raja-raja. Sosoknya sangat misterius, seolah antara nyata dan tidak nyata, tapi jika melihat tanda-tandanya orang yang menyangkal akan menjadi ragu. Ki Lurah Semar dalam konteks Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan bapa atau Dahyang-nya manusia Jawa. Menurut jangka Jayabaya kelak saudara kembar tersebut akan hadir kembali setelah 500 tahun sejak jatuhnya Majapahit untuk memberi pelajaran kepada momongannya manusia Jawa (nusantara). Jika dihitung kedatangannya kembali, yakni berkisar antara tahun 2005 hingga 2011. Maka bagi para satria momongannya Ki Lurah Semar ibarat menjadi jimat; mung siji tur dirumat. Selain menjadi penasehat, punakawan akan menjadi penolong dan juru selamat/pelindung tatkala para satria momongannya dalam keadaan bahaya.
Dalam cerita pewayangan Ki Lurah Semar jumeneng sebagai seorang Begawan, namun ia sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Maka Ki Lurah Semar juga dijuluki manusia setengah dewa. Dalam perspektif spiritual, Ki Lurah Semar mewakili watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak pernah terlalu sedih dan tidak pernah tertawa terlalu riang. Keadaan mentalnya sangat matang, tidak kagetan dan tidak gumunan. Ki Lurah Semar bagaikan air tenang yang menghanyutkan, di balik ketenangan sikapnya tersimpan kejeniusan, ketajaman batin, kaya pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. Ki Lurah Semar menggambarkan figur yang sabar, tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran dan menghindari perbuatan dur-angkara. Ki Lurah Semar juga dijuluki Badranaya, artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka, naya adalah wajah, taka : pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan (lihat thread: Pusaka Hasta Brata). Dan seorang figur yang memiliki wajah pucat, artinya Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka den prayitna: semare artinya menidurkan diri, agar supaya batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak api atau nafsu negatif. Inilah nilai di balik kalimat wani mati sajroning urip (berani mati di dalam hidup). Perbuatannya selalu netepi kodrat Hyang Widhi (pasrah), dengan cara mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan ke dalam sikap watak wantun kita sehari-hari dalam pergaulan, “pucat’ dingin tidak mudah emosi, tenang dan berwibawa, tidak gusar dan gentar jika dicaci-maki, tidak lupa diri jika dipuji, sebagaimana watak Badranaya atau wajah rembulan.
Dalam khasanah spiritual Jawa, khususnya mengenai konsep manunggaling kawula Gusti, Ki Lurah Semar dapat menjadi personifikasi hakekat guru sejati setiap manusia. Semar adalah samar-samar, sebagai perlambang guru sejati atau sukma sejati wujudnya samar bukan wujud nyata atau wadag, dan tak kasad mata. Sedangkan Pendawa Lima adalah personifikasi jasad/badan yang di dalamnya terdapat panca indera. Karena sifat jasad/badan cenderung lengah dan lemah, maka sebaik apapun jasad seorang satria, tetap saja harus diasuh dan diawasi oleh sang guru sejati agar senantiasa eling dan waspadha. Agar supaya jasad/badan memiliki keteguhan pada ajaran kebaikan sang guru sejati. Guru sejati merupakan pengendali seseorang agar tetap dalam “laku” yang tepat, pener dan berada pada koridor bebener. Siapa yang ditinggalkan oleh pamomong Ki Lurah Semar beserta Gareng, Petruk, Bagong, ia akan celaka, jika satria maka di negerinya akan mendapatkan banyak malapetaka seperti : musibah, bencana, wabah penyakit (pageblug), paceklik. Semua itu sebagai bebendu karena manusia (satria) yang ditinggalkan guru sejati-nya telah keluar dari jalur bebener.
Jika ditinjau dari perspektif politik, kelompok Punakawan Ki Lurah Semar dan anak-anaknya Gareng, Petruk, Bagong sebagai lambang dari lembaga aspirasi rakyat yang mengemban amanat penderitaan rakyat. Atau semacam lembaga legislatif. Sehingga kelompok punakawan ini bertugas sebagai penyambung lidah rakyat, melakukan kritikan, nasehat, dan usulan. Berkewajiban sebagai pengontrol, pengawas, pembimbing jalannya pemerintahan di bawah para Satria asuhannya yakni Pendhawa Lima sebagai lambang badan eksekutif atau lembaga pemerintah. Dengan gambaran ini, sebenarnya dalam tradisi Jawa sejak masa lampau telah dikenal sistem politik yang demokratis.
2. Nala Gareng
Nala adalah hati, Gareng (garing) berarti kering, atau gering, yang berarti menderita. Nala Gareng berarti hati yang menderita. Maknanya adalah perlambang “laku” prihatin. Namun Nala Gareng diterjemahkan pula sebagai kebulatan tekad. Dalam serat Wedhatama disebutkan gumeleng agolong-gilig. Merupakan suatu tekad bulat yang selalu mengarahkan setiap perbuatannya bukan untuk pamrih apapun, melainkan hanya untuk netepi kodrat Hyang Manon. Nala Gareng menjadi simbol duka-cita, kesedihan, nelangsa. Sebagaimana yang tampak dalam wujud fisik Nala Gareng merupakan sekumpulan simbol yang menyiratkan makna sbb:
Mata Juling:
Mata sebelah kiri mengarah keatas dan ke samping. Maknanya Nala Gareng selalu memusatkan batinnya kepada Hyang Widhi.
Lengan Bengkok atau cekot/ceko :
Melambangkan bahwasannya manusia tak akan bisa berbuat apa-apa bila tidak berada pada kodrat atau kehendak Hayng Widhi.
Kaki Pincang, jika berjalan sambil jinjit :
Artinya Nala Gareng merupakan manusia yang sangat berhati-hati dalam melangkah atau dalam mengambil keputusan. Keadaan fisik nala Gareng yang tidak sempurna ini mengingatkan bahwa manusia harus bersikap awas dan hati-hati dalam menjalani kehidupan ini karena sadar akan sifat dasar manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
Mulut Gareng :
Mulut gareng berbentuk aneh dan lucu, melambangkan ia tidak pandai bicara, kadang bicaranya sasar-susur (belepotan) tak karuan. Bicara dan sikapnya serba salah, karena tidak merasa percaya diri. Namun demikian Nala Gareng banyak memiliki teman, baik di pihak kawan maupun lawan. Inilah kelebihan Nala Gareng, yang menjadi sangat bermanfaat dalam urusan negosiasi dan mencari relasi, sehingga Nala Gareng sering berperan sebagai juru damai, dan sebagai pembuka jalan untuk negosiasi. Justru dengan banyaknya kekurangan pada dirinya tersebut, Nala Gareng sering terhindar dari celaka dan marabahaya.
3. Petruk Kanthong Bolong
Ki Lurah Petruk adalah putra dari Gandarwa Raja yang diambil anak oleh Ki Lurah Semar. Petruk memiliki nama alias, yakni Dawala. Dawa artinya panjang, la, artinya ala atau jelek. Sudah panjang, tampilan fisiknya jelek. Hidung, telinga, mulut, kaki, dan tangannya panjang. Namun jangan gegabah menilai, karena Lurah Petruk adalah jalma tan kena kinira, biar jelek secara fisik tetapi ia sosok yang tidak bisa diduga-kira. Gambaran ini merupakan pralambang akan tabiat Ki Lurah Petruk yang panjang pikirannya, artinya Petruk tidak grusah-grusuh (gegabah) dalam bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung rugi, atau resiko akan suatu rencana dan perbuatan yang akan dilakukan. Petruk Kanthong Bolong, menggambarkan bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas, hatinya bak samodra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolong tidak ada yang disembunyikan, tidak suka menggerutu dan ngedumel.
Dawala, juga menggambarkan adanya pertalian batin antara para leluhurnya di kahyangan (alam kelanggengan) dengan anak turunnya, yakni Lurah Petruk yang masih hidup di mercapada. Lurah Petruk selalu mendapatkan bimbingan dan tuntunan dari para leluhurnya, sehingga Lurah Petruk memiliki kewaskitaan mumpuni dan mampu menjadi abdi dalem (pembantu) sekaligus penasehat para kesatria.
Petruk Kanthong Bolong wajahnya selalu tersenyum, bahkan pada saat sedang berduka pun selalu menampakkan wajah yang ramah dan murah senyum dengan penuh ketulusan. Petruk mampu menyembunyikan kesedihannya sendiri di hadapan para kesatria bendharanya. Sehingga kehadiran petruk benar-benar membangkitkan semangat dan kebahagiaan tersendiri di tengah kesedihan. Prinsip “laku” hidup Ki Lurah Petruk adalah kebenaran, kejujuran dan kepolosan dalam menjalani kehidupan. Bersama semua anggota Punakawan, Lurah Petruk membantu para kesatria Pandhawa Lima (terutama Raden Arjuna) dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.
4. Bagong
Bagong adalah anak ketiga Ki Lurah Semar. Secara filosofi Bagong adalah bayangan Semar. Sewaktu Semar mendapatkan tugas mulia dari Hyang Manon, untuk mengasuh para kesatria yang baik, Semar memohon didampingi seorang teman. Permohonan Semar dikabulkan Hyang Maha Tunggal, dan ternyata seorang teman tersebut diambil dari bayangan Semar sendiri. Setelah bayangan Semar menjadi manusia berkulit hitam seperti rupa bayangan Semar, maka diberi nama Bagong. Sebagaimana Semar, bayangan Semar tersebut sebagai manusia berwatak lugu dan teramat sederhana, namun memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Ia tahan menanggung malu, dirundung sedih, dan tidak mudah kaget serta heran jika menghadapi situasi yang genting maupun menyenangkan. Penampilan dan lagak Lurah Bagong seperti orang dungu. Meskipun demikian Bagong adalah sosok yang tangguh, selalu beruntung dan disayang tuan-tuannya. Maka Bagong termasuk punakawan yang dihormati, dipercaya dan mendapat tempat di hati para kesatria. Istilahnya bagong diposisikan sebagai bala tengen, atau pasukan kanan, yakni berada dalam jalur kebenaran dan selalu disayang majikan dan Tuhan.
Dalam pagelaran wayang kulit, kelompok punakawan Semar, Gareng, Petruk, Bagong selalu mendapatkan tempat di hati para pemirsa. Punakawan tampil pada puncak acara yang ditunggu-tunggu pemirsa yakni goro-goro, yang menampilkan berbagai adegan dagelan, anekdot, satire, penuh tawa yang berguna sebagai sarana kritik membangun sambil bercengkerama (guyon parikena). Punakawan menyampaikan kritik, saran, nasehat, maupun menghibur para kesatria yang menjadi asuhan sekaligus majikannya. Suara punakawan adalah suara rakyat jelata sebagai amanat penderitaan rakyat, sekaligus sebagai “suara” Tuhan menyampaikan kebenaran, pandangan dan prinsip hidup yang polos, lugu namun terkadang menampilkan falsafah yang tampak sepele namun memiliki esensi yang sangat luhur. Itulah sepak “terjang punakawan” bala tengen yang suara hatinuraninya selalu didengar dan dipatuhi oleh para kesatria asuhan sekaligus majikannya.
Kepemimpinan Punakawan Kontroversial
Dalam cerita wayang sebagaimana kisah-kisah dalam legenda lainnya, terdapat kelompok antagonis. Dalam cerita wayang tokoh-tokoh antagonis berasal dari negri seberang atau Sabrangan. Punakawan Togog atau Tejamantri, Sarawita dan Mbilung merupakan punakawan kontroversif yang selalu membimbing tokoh pembesar antagonis, para “ksatria” angkara murka (dur angkara), hingga para pimpinan raksasa jahat. Sebut saja misalnya Prabu Dasamuka, Prabu Niwatakawaca, Prabu Susarma, hingga para kesatria dur angkara dari Mandura seperti Raden Kangsa dan seterusnya. Pada intinya Ki Lurah Togog dkk selalu berada di pihak tokoh antagonis, sehingga disebut sebagai bala kiwa. Namun demikian bukan berarti kelompok punakawan ini memiliki karakter buruk.
Ciri fisik Togog dkk memiliki mulut yang lebar. Artinya mereka selalu berkoar menyuarakan kebaikan, peringatan (pepeling) kepada majikannya agar tetap waspada dan eling, menjadi manusia jangan berlebihan. Ngono ya ngono ning aja ngono. Manusia harus mengerti batas-batas perikemanusiaan. Sekalipun akan mengalahkan lawan atau musuhnya tetap harus berpegang pada etika seorang kesatria yang harus gentle, tidak pengecut, dan tidak memenangkan perkelahian dengan jalan yang licik. Sekalipun menang tidak boleh menghina dan mempermalukan lawannya (menang tanpa ngasorake). Itulah ajaran Ki Lurah Togog dkk yang sering kali diminta nasehat dan saran oleh para majikannya. Namun toh akhirnya setiap nasehat, saran, masukan, aspirasi yang disampaikan Ki Lurah Togog dkk tetap saja tidak pernah digubris oleh majikannya mereka tetap setia. Ki Lurah Togog dkk walaupun menjabat posisi sentral sebagai penasehat, pengasuh dan pembimbing, yang selalu bermulut lantang menyuarakan pepeling, seolah peran mereka hanya sebagai obyek pelengkap penderita. Walaupun Ki Lurah Togog dkk selalu gagal mengasuh majikannya para kesatria dur angkara, hingga sering berpindah majikan untuk bersuara lantang mencegah kejahatan. Bukan berarti mereka tidak setia. Sebaliknya dalam hal kesetiaan sebagai kelompok penegak kebenaran, Ki Lurah togog patut menjadi teladan baik. Karena sekalipun sering dimaki, dibentak dan terkena amarah majikannya, Ki Lurah Togog dkk tidak mau berkhianat. Sekalipun selalu gagal memberi kritik dan saran kepada majikannya, mereka tetap teguh dalam perjuangan menegakkan keadilan. Dan lagi-lagi, mereka selalu dimintai saran dan kritikan, namun serta-merta diingkari pula oleh majikan-majikan barunya. Itulah nasib Togog dkk, yang mengisyaratkan nasib rakyat kecil yang selalu mengutarakan aspirasi dan amanat penderitaan rakyat namun tidak memiliki bargaining power. Ibarat menyirami gurun, seberapapun nasehat dan kritikan telah disiramkan di hati para “pemimpin” dur angkara, tak akan pernah membekas dalam watak para majikannya. Barangkali nasib kelompok punakawan Ki Lurah Togog dkk mirip dengan apa yang kini dialami oleh rakyat Indonesia. Suara hati nurani rakyat sulit mendapat tempat di hati para tokoh dan pejabat hing nusantara nagri. Sekalipun sekian banyak pelajaran berharga di depan mata, namun manifestasi perbuatan dan kebijakan politiknya tetap saja kurang populer untuk memihak rakyat kecil.

SANG PRABU SILIWANGI

Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) mengawali pemerintahan zaman Pajajaran, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran

Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).
Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira". Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.

Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):
"Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".

Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.

Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".
Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah zaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.
Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.
Gelar "Sripaduka" ( Sri Baduga ) pada zaman Pajajaran Nagara disandang oleh 3 tokoh : 1. Wastukancana / Rd. Pitara Wangisuta / SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU DEWATA PURANA RATU HAJI DI PAKUAN PAJAJARAN SANG RATU KARANTEN ( KARA ANTEN ) RAKEYAN LAYARAN WANGI /SUNAN RUMENGGONG (RAMA HYANG AGUNG ) adik dari Dyah Pitaloka Citraresmi anak dari Rd. Kalagemet /Jayanagara II / Raja Sundayana di Galuh /Ratu Galuh di Panjalu / Maharaja Prabu Wangi dan merangkap Wali Nagari Hujung Galuh ( Majapahit-Pajajaran Wetan / Jawa Pawatan / Galuh - menjadi wali sang kakak Linggabuana/Jayanagara I/Maharaja Prabu Diwastu ayah dari Hayam Wuruk /Hyang Warok /Rd. Inu Kertapati /Susuk Tunggal /Prabumulih /Prabu Seda Keling /Sang Haliwungan /Pangeran Boros Ngora/Ra- Hyang Kancana )gugur pada "PERANG BUBAT" dalam pertempuran yang tidak "FAIR" atas "REKAYASA" Gajah Mada / Guan Eng Cu dan Nangganan /Ki Ageng Muntalarasa /Syekh BEN TONG!!!!,dengan cara dibokong dan di keroyok !!!
2. Mundinglayadikusumah / Rd. Samadullah Surawisesa Mundinglayadikusumah/SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU GANTANGAN SANG SRI JAYA DEWATA /KEBO KENONGO /ARYA KUMETIR /RD.KUMETIR /KI AGENG PAMANAH RASA / SUNAN PAGULINGAN anak dari LINGGA HYANG / LINGGA WESI / HYANG BUNI SWARA /SRI SANGGRAMAWIJAYA TUGGAWARMAN /MAHAPATI ANAPAKEN ( MENAK PAKUAN )/ RD. H. PURWA ANDAYANINGRAT / SUNAN GIRI /HYANG TWAH / BATARA GURU NISKALAWASTU DI JAMPANG
3. MUNDINGWANGI/ SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU DEWATAPRANA SANG PRABU GURU RATU DEWATA anak dari Wastukancana.
nah banyak kalangan yang mengaku telah bertemu prabu siliwangi bahkan ada yang mengatakan prabu siliwangi menjadi pendamping gaibnya.. ayo mari kita kupas pengalaman masing masing.,..