Menjemput yang Tertinggal, Mengemaskan yang Tercecer, Mengingatkan yang Terlupa " ELING LAN WASPADA"

widgeo.net

Selasa, 05 April 2011

Hakekat Keberadaan Candi Sapta Rengga NARAYANA

oleh Ganesha Nurahmad pada 05 Mei 2010 jam 13:57

“Jangan lihat apa yang dilihat, tetapi lihatlah di balik apa yang dilihat”

Ungkapan tersebut merupakan pakem ajaran leluhur didalam memandang segala sesuatu kejadian dalam kehidupan ini. Semua kejadian adalah perlambang yang memiliki makna dan maksud sebagai petunjuk bagi yang melihat atau merasakannya baik itu bersifat nyata maupun kegaiban (tak nyata). Kenyataan yang mengandung makna kegaiban dengan dasar hakekat kawruh (ajaran leluhur) dikenal dengan istilah Kasunyatan. Maka ajaran leluhur dalam implementasinya sangat sarat dan kental dengan perlambang-perlambang. Dengan kepekaan rasa hasil olah rasa membuat ketanggapan atau kejelian didalam menerima “pesan” berupa perlambang dan menjawabnya dengan “tindakan” berupa perlambang pula. Tentu saja segala hakekat yang dimaknai akan berpengaruh pada tindakan perbuatan yang selaras sebagai aplikasi perilaku di dalam kehidupan praktis. Jadi hal yang demikian itu salah besar kalau dikatakan sebagai tindakan primitif apalagi animisme. Malahan sebaliknya menunjukkan kecerdasan spiritual yang sangat tinggi (tauhid) dan peradaban yang santun dan luhur. Karena segala sesuatu yang dilakukan selalu berlandaskan pada kesadaran akan ke-Tuhan-an dengan semangat kesadaran manembah Kawula mring Gusti.

Seperti halnya keberadaan Candi NARAYANA yang merupakan wujud hasil implementasi amanah kegaiban, merupakan kasunyatan yang sarat dengan kawruh. Dalam hal ini kawruh yang dimaksud adalah pengetahuan hakekat yang diperoleh atau yang terkandung dari hasil pelaksanaan amanah, yaitu amanah guru rohani sejati. Maka Ilmu tanpa Laku adalah sia-sia dan hanya menciptakan angan-angan belaka. Sedangkan Laku tanpa Ilmu akan menjurus pada penyimpangan atau penyesatan. Keduanya harus berjalan selaras. Hasil Laku berdasarkan Ilmu itulah kemudian diperoleh Kawruh/Kaweruh yaitu pemahaman ajaran leluhur yang dijalankan, dirasakan dan dibuktikan mengandung kenyataan dan kebenaran sejati yang kemudian menjadi pengetahuan sejati dan merasuk ke dalam rasa jati.

Tidaklah mungkin dipaparkan satu per satu detail proses pembangunan Candi NARAYANA yang akhirnya mewujud seperti yang kita lihat bersama. Banyak keanehan yang menakjubkan yang terjadi sejak awal hingga akhir pembangunan candi. Setidaknya upaya pembangunannya berjalan secara spontan namun tidak lazim karena berjalan tanpa kepanitiaan dan tanpa proposal. Meskipun ketika itu dengan segala kesadaran menghadapi segudang faktor kesulitan yang tinggi guna mewujudkannya. Banyak hal-hal di luar dugaan yang kemudian memperlancar dalam upaya pembangunannya. Maha Suci dan Maha Benar Tuhan dengan segala Firman-Nya..

Candi adalah sebuah “kitab” yang mengandung bahasa perlambang dan menyiratkan pelajaran atau pesan-pesan tertentu kepada manusia. Karena sejatinya CANDI adalah “wawaCAN-Diri” (bacaan diri manusia). Terdapat lapisan-lapisan (layers) hakekat yang terkandung di dalamnya. Secara fisik Candi NARAYANA memiliki 3 (tiga) tingkat anak tangga yang melambangkan 3 (tiga) alam, yaitu “Alam Bawah” (Bhur Loka / Buana Handap (Larang) / Betal Mukadas (pasuceningsun) / Woh Wit Kuldi), “Alam Tengah” (Bwah Loka / Buana Tengah / Betal Muharam (lalaranganingsun) / Woh Wit Kawruh), dan “Alam Atas” (Swah Loka / Buana Luhur (Nyungcung) / Betal Makmur (parameyaningsun) / Woh Wit Budi). Ketiga alam ini dalam konteks “Jagad Cilik / Buana Alit” ada di dalam diri kita manusia. Alam Bawah adalah wilayah Karsa (syahwat/nafsu dan keinginan), Alam Tengah adalah wilayah Rasa (hati/batin), dan Alam Atas adalah wilayah Cipta (akal pikiran dan panca indria). Secara kawruh masing-masing alam ini tentu saja harus dikenali terlebih dahulu. Karena tiap alam terdiri dari 7 (tujuh) unsur (tidak akan dibahas di sini). Jika telah mengenali dan muncul kesadaran untuk menapaki atau menjalaninya, maka fase berikutnya adalah masuk ke dalam candi sebagai lambang siap masuk ke dalam diri pribadi. Namun sebelum masuk pintu candi kita akan bertemu dengan 2 ekor Naga penjaga sebagai lambang ujian bagi manusia untuk harus berperang menghadapi godaan atau nafsu dari dalam diri maupun dari luar dirinya. Setelah lolos ujian tersebut berikutnya akan menapak naik ke atas badan Kura-Kura sebagai lambang kekokohan dan kestabilan, juga lambang bumi yang kita pijak ini. Dibutuhkan keberanian, keteguhan dan kekuatan jiwa untuk memasuki pintu hati sendiri.

Berikutnya dengan memasuki pintu jati berornamen ukiran Stupa/Genta adalah sebagai lambang memasuki pintu kesucian untuk mencari Kesejatian diri dengan berlaku Budha (= mencapai “kesadaran tertinggi” kepada Tuhan) dengan berpijak kepada Sabda-Sabda-Nya dan senantiasa memuji Nama-Nya. Dalam fase ini kita akan mulai berupaya menembusi “Bumi Sap Pitu” (bumi lapis tujuh), yaitu masuk ke dalam tujuh lapis diri kita yang terdiri dari : Jasad – Akal Pikiran – Nafsu-nafsu – Roh – Sirr/Rahasia/Rahsa – Nur – Urip. Ini dilambangkan dengan puncak 7 tingkat (Sapta Rengga) pada Candi NARAYANA. Untuk menembus setiap lapisan tentu saja harus melakukan upaya pembebasan atau melepas segala ikatan (zuhud / merdeka dari segala penjajahan hawa nafsu) yang mana makna ini disimbolkan dengan warna Merah Putih pada candi (batu bata merah dan batu putih). Dalam pakem kawruh, upaya-upaya tersebut dilakukan dengan laku tirakat : Nyegah Sare (berjaga di waktu malam), Nyegah Dahar (banyak berpuasa), dan Nyegah Syahwat (mencegah keinginan-keinginan termasuk sex). Dengan melanggengkan sikap Eneng, Ening, Eling, dan Waspada, upaya tersebut dimaksudkan pula sebagai sarana untuk mampu menguasai ke tiga alam yang ada pada diri kita. Dalam kesufian upaya ini dikenal dengan istilah “man arofa nafsahu faqad arofa robbahu” (mengenal diri maka mengenal Tuhan). Menembus Bumi Sap Pitu - Langit Sap Pitu adalah upaya masuk ke kedalaman batin yang tak terhingga yang secara hakekat sejatinya adalah naik (mi’roj) hingga mengenal Sang Urip (hidupnya sendiri). Disinilah makna ajaran leluhur yang dikatakan diri kita manusia adalah titik pertemuan yang disebut Cakra Buana yaitu pusat pertemuan antara alam di luar diri kita (Jagad Gede / Buana Agung) yang sangat luas tak terhingga dengan alam batin di dalam diri kita (Jagad Cilik / Buana Alit) yang sangat dalam tak terhingga.

Setidaknya itulah salah satu lapisan hakekat dari wujud Candi NARAYANA sebagai “wawaCAN-Diri”. Sebuah kitab perjalanan manusia untuk kembali ingat akan perjanjian dengan Tuhan-nya. Sangkan paraning dumadi. Innalillahi wa inaillaihi roji’un. Namun dari lapisan hakekat yang lain, keberadaan Candi Sapta Rengga NARAYANA yang merupakan wujud amanah gaib Sabdo Palon yakni beliau Danghyang Nirartha dimaksudkan sebagai “tetenger” (tanda peringatan) kehadiran kembali beliau sesuai sabda yang pernah diucapkannya 500 tahun yang lalu. Kehadiran beliau saat ini membawa peringatan bagi seluruh umat di jagad raya ini (khususnya Nusantara) yang diperlambangkan dengan 3 alam yang terkait. Gunung Penanggungan di arah Barat Daya, Watu Kosek di Tengah, dan Lumpur Lapindo di arah Timur Laut membentuk garis imajiner yang lurus sempurna. Maknanya beliau hadir turun gunung untuk mengajak umat manusia menyucikan atau membersihkan hati sebagai upaya menanggung dosa yang diakibatkan selama ini telah lama berkubang dalam lumpur dosa. Lumpur dosa yang tidak biasa, namun lumpur panas beracun dengan bau yang sangat menyengat, menyengsarakan bahkan membawa banyak korban. Secara spiritual titik Barat Daya mengandung misteri. 500 tahun yang lalu beliau moksha di Ulu Watu (Barat Daya/ Dewa Rudra), dan saat ini beliau hadir kembali di Tanah Jawa dari arah Barat Daya yaitu Gunung Penanggungan (hakekat puncak Mahameru – dikelilingi 8 gunung lainnya). Turun gunung menuju kaki Gunung Penanggungan di Watu Kosek (Tengah/ Dewa Siwa). Renungkan Sloka 10.23 Bhagawad Gita : “Di antara semua Rudra Aku adalah Dewa Siwa, di antara para Yaksa dan Raksasa Aku adalah Dewa Kekayaan (Kuwera), di antara para Wasu aku adalah Api (Agni), dan di antara gunung-gunung Aku adalah Meru (Maha Meru).”

Saat ini kita jadi lebih mengerti bahwa sejatinya Semburan Lumpur Lapindo yang muncul sejak 29 Mei 2006 merupakan stigma dari Hyang Maha Kuasa untuk umat manusia (di Nusantara khususnya) agar berpikir dan merenung. Hal ini tidak terlepas dari stigma-stigma lain berupa kejadian-kejadian besar di negeri ini yang diawali munculnya Tsunami Aceh di penghujung 2004 yang lalu (baca : Surat Terbuka kepada SBY – 14 September 2006). Semua kejadian merupakan rangkaian bahasa yang membentuk kata dan kalimat, itulah Sabda Terbentang. Kejadian Lumpur Lapindo secara kawruh merupakan bukti bahwa jika tempat suci (alam Karsa/Pasuceningsun) dirusak baik sengaja maupun tidak sengaja (karena tidak tahu mungkin), maka akan berakibat fatal yakni kehancuran. “Jika dahulu situs Candi Bradah berukuran 4 m x 4 m, karena dirusak maka yang muncul adalah Pradah atau musibah yang membawa konsekuensi hancurnya wilayah itu seluas 4 km x 4 km” (mengutip ungkapan Ida Bagus Suteja ). Inilah bukti nyata jika manusia di alam modern sekarang telah angkuh dan sombong mengabaikan bahkan telah meninggalkan ajaran leluhur dan keberadaan leluhur kita sendiri. Untuk diketahui oleh kita semua, bukan merupakan suatu kebetulan bahwa sejatinya di Candi Pradah itulah berstana “Batara Naga Raja (Naga Sugih) dan Batari Pusering Bumi.” Maka lapis hakekat lain keberadaan Candi Sapta Rengga NARAYANA adalah merupakan astana baru bagi beliau Ida Batara/Batari.

Pun Sapun ka Sang Rumuhun.. Sang Batara, Sang Batari Batara anu ngayuga Batari Pusering Bumi Nu ngayuga alam padang

Ieu teh rajah pamunah Rajah pamunah sagala Munah lemah munah imah Munah sagala nu aya Di cai katut eusina Raga badag sajirimna

Pun Sapun ka luhur ka Sang Rumuhun.. Ka guru Putra Hyang Bayu Ka handap ka Sang Batara Ka Batara Naga Raja Ka Batara Naga Sugih

Punika rajah pamunah Paragi munah sagala Munah lemah katut imah Munah kayu katut watu Munah cai katut diri Munah raga jeung banda

Nama Candi NARAYANA merupakan nama niskala yang diberikan oleh beliau Danghyang Nirartha. Guna memahami di balik maksud keberadaan Candi NARAYANA sebagai sebuah kitab atau “wawaCAN-Diri” manusia, maka bacalah dan pahamilah BHAGAWAD GITA. Kesempurnaan dari pemahaman kata-kata dan kalimat adalah ber-DHARMA BAKTI. Gerakkan roda Dharma untuk menjalani Karma guna menggapai Moksha. Semoga sekelumit uraian hakekat keberadaan Candi Sapta Rengga NARAYANA ini bermanfaat untuk kita semua. Salam MERAH PUTIH..

JAYALAH NEGERIKU.. TEGAKLAH GARUDAKU.. JAYALAH NUSANTARAKU..



Rabu/Budha Pon – Sungsang, 5 Mei 2010
Ganesha NurahmadBagikan

2 komentar: